Kamis, 20 Maret 2014

Dua Puluh Tujuh

Siapa yang bisa melawan perputaran waktu?

Sebagian dari saya hari ini masih merasa sebagai anak-anak yang ingin terus berpetualang dan bermain tanpa harus menjalani tanggung jawab besar sebagai orang dewasa. Sebagian lainnya sudah mulai mendesak untuk menjalani fase kehidupan seperti manusia kebanyakan; menikah, mempunyai keturunan, membangun rumah tangga yang mapan dan akhirnya mencapai banyak prestasi bersama keluarga yang dibina.

Besok, genap sudah menjalani usia yang baru. Kali ini sungguh memiliki nuansa yang berbeda, seolah ada beban, tanggung jawab dan tantangan yang semakin membuncah untuk segera dituntaskan. Sudah bukan masanya lagi untuk terus bermain-main. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sudah seberapa dewasa kah saya dalam menghadapi semuanya. Akan kah semuanya kembali bergulir seperti satu tahun kemarin? hanya berkutat di pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang tidak banyak menghasilkan prestasi besar?

Atau, akan ada perubahan signifikan ke depannya. Karena, seberapa masa bodohnya seseorang dengan lingkungan sekitar. Dia tidak akan mampu membohongi dirinya sendiri akan kebutuhan dan pencapaian-pencapaian yang dicita-citakannya.

So, semuanya akan terus saya hadapi, semoga kesalahan-kesalahan tidak lagi terulang dan semua cita-cita bisa lekas terwujud. 



Jumat, 07 Maret 2014

Kapan Nikah?

Oke, hari ini gue mendapat pertanyaan yang ke-1.678.764 kalinya tentang "kapan elu menikah?," it's fayn, temen-temen sekantor gue adalah segelintir manusia yang paling peduli terhadap status single rekan kerjanya. Ha ha ha ha. 


Beruntungnya gue selalu punya jawaban: 
1. Gue nunggu penyesuaian Pangkat dan Golongan. 
2. Gue pengen ngelanjutin pendidikan ke jenjang Pascasarjana. 
Kemudian mereka akan punya segudang alibi untuk mematahkan jawaban yang gue berikan, and that was so funny. Betapa mereka tidak pernah lelah mengajukan pertanyaan yang sama pada esok harinya dan akan terus berulang sampai gue MENIKAH. Damn!

Sebagai manusia yang hidup di tengah komunitas masyarakat setengah kota setengah ndeso. Gue mencoba memahami dasar mereka terus saja berulang kali mengajukan pertanyaan yang sama. MEREKA GAK PUNYA KERJAAN LAIN SELAIN ITU. PPFFTT *emot tanduk numbuh di kepala* 

Untuk seorang ABEGE yang menjelang usia aqil baliq seperti gue. Pertanyaan "kapan menikah?" seperti deru suara knalpot bajai di gang sempit perumahan di Jakarta. Berisik dan mengganggu, membuyarkan mimpi yang susah payah gue skenariokan dari kemarin malam. Ha ha ha ha.

Oukey, time for serious. But, wait. I wanna say hello to my ex. Kapan Menikah? 

Menikah, menjadi misteri terbesar untuk gue. Honestly. Gue gak punya kisi-kisi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gue sendiri masih bingung untuk menentukan dengan siapa dan kapan akan menikah tepatnya. Hanya "insya Allah tahun ini. Haqqul yakin." O:-)

Siapa yang tidak mau menikah, kecuali cacing yang hermaprodit. #lah 
Tapi, pandangan yang terlalu mengeneralisir saat seseorang yang berusia matang dan mempunyai pekerjaan tetap harus segera menikah gak bisa donk diterapkan ke semua orang. Selalu ada latar belakang hingga seseorang seperti gue memilih untuk belum menikah sampai dengan usia aqil baliq seperti saat ini.
Menikah, menurut keyakinan gue. Bukanlah satu hal yang bisa dijalankan dengan asas "mangan ora mangan sing penting bergumul," YO ORA ISO, SU. Butuh modal dan kesiapan lahir maupun bathin. Karena gue melihat sendiri, betapa banyak pasangan yang berkomitmen untuk berumahtangga terjerumus dalam permasalahan yang tak kunjung usai karena keputusan mereka yang terburu-buru saat belum menikah.

Gue punya keyakinan, rumah tangga yang dijalani dengan kesiapan mental, dompet, fisik dan niat yang tulus untuk menyempurnakan agama. Adalah sebaik-baiknya kehidupan pernikahan. Harus ada perencanaan yang matang akan dengan siapa gue bakal menikah, bagaimana menjalaninya dari segi finansial, akan seperti apa pola dalam membesarkan keturunan, pemenuhan sandang pangan dan papan yang merata, pengembangan usaha sampingan dan banyak lainnya. Point paling penting adalah gue bakal yakin untuk berbagi hidup dengan pasangan gue baik dalam suka maupun duka hingga tua nanti. Bukan begitu, mahluk paling sempurna? He he he he.

Akan ada waktunya nanti. Tahun ini. Insya Allah. :D









NB: Sejujurnya, keimanan dan keimronan gue semakin memberontak. Jadi you know lah. :/

Kamis, 06 Maret 2014

Kenapa Harus Marah-Marah?

Akhir-akhir ini, mungkin banyak di antara kita yang menjumpai atau merasakan sendiri. Orang-orang yang suka mengumbar emosinya dalam bentuk amarah. Entah dengan berteriak, menggerutu atau bahkan mengumpat. Seakan cuma dengan marah, semua permasalahan yang dihadapi akan segera tuntas.

Saya baru saja mengalaminya pagi tadi. Dalam moment rapat resmi, saya harus menanggung kesalahan atasan dalam bentuk amarah dari "pejabat tinggi." Sungguh menyebalkan rasanya, tapi membalas dengan tindakan serupa juga tidak akan memberikan dampak apapun, bisa jadi malah akan memperburuk keadaan.

Saya cuma heran, kenapa begitu banyak orang suka sekali mengumbar amarahnya. Apalagi di depan khalayak ramai, bukankah itu cuma menunjukkan ketidakdewasaan mereka dalam bersikap.

Cobalah memberikan contoh yang baik, marah-marah untuk menunjukkan (seolah) dirinya paling benar tidak akan memberikan dampak baik. Malah hanya akan memperkeruh suasana atau bahkan lebih buruknya membuat seseorang menyimpan rasa dendam tak berkesudahan.

Saya mencoba memaklumi, kenapa sang bapak sampai sedemikian marahnya. Apalagi dengan posisi saya yang cuma anak bawang. Mungkin dia merasa bisa mengeluarkan uneg-unegnya dengan bebas. Coba saja saya seorang Presiden. Mana berani dia marah-marah dengan saya. Saya berani taruhan pacar (yang tidak saya punya). Ha ha ha ha.

Si bapak marah juga setelah saya renungkan, adalah akibat ketidakbecusan beberapa orang yang dibebankan amanah sebagai pejabat dalam menerjemahkan isi surat undangan rapat yang sudah mereka baca. Biasa, pejabat sekarang lebih suka rapat dan perjalanan dinas dengan fasilitas yang memberikan mereka kesenangan sesaat. He he he he.

Sebenarnya saya juga termasuk dalam kategori manusia yang suka mengeluarkan emosi/rasa tidak senang dalam bentuk amarah. Tapi ternyata, setelah kena semprot di depan publik. Saya berpikir ulang untuk marah-marah ke depannya.

Sepertinya, hidup akan lebih indah bila semua masalah dihadapi dengan tertawa. Walapun palsu. Ha ha ha ha ha. 

Senin, 03 Maret 2014

Rapor Merah Reformasi Birokrasi

Berbicara mengenai tata kelola Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kita akan berhadapan dengan satu sistem raksasa yang terdiri atas begitu banyak unsur dan orang perorang yang terlibat di dalamnya. 

Merunut kejadian pasca reformasi di Tahun 1998, yang pada mulanya Pemerintah berpusat di Jakarta, dengan perwakilan di Provinsi dan Kabupaten. Maka, semenjak disahkannya UU Otonomi Daerah. Terjadi pembagian wewenang kekuasaan. Daerah, dalam hal ini, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai wewenang lebih besar dalam mengembangkan dan meningkatan kesejahteraan daerahnya.

Semangat reformasi birokrasi terus digelorakan, harapan awal ialah terbentuknya suatu sistem yang bersih dari praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang digadang-gadangkan jadi penyebab bobroknya keadaan perekonomian dan kesejahteran rakyat Indonesia pada era orde baru.

Seingat saya yang pada saat meletusnya kejadian Mei tahun 1998 masih duduk di bangku kelas 6 SD. Gelora perubahan yang digerakkan oleh mahasiswa di Jakarta begitu terasa hingga ke daerah-daerah. Sehingga, pada saat pemilu pada tahun 1999. Saya sampai mengukir lambang kepala banteng bermoncong putih milik PDI Perjuangan. Karena merekalah yang jadi organisasi terbesar pada saat itu.

Tapi apa lacur, semakin saya beranjak besar, hingga saat ini menjadi bagian dari sebuah ekosistem bernama birokrasi. Perubahan yang diperjuangkan dengan mengorbankan begitu banyak nyawa dan hilangnya 13 orang aktivis tanpa tentu rimbanya. Sampai saat ini hanya jadi fatamorgana.

Ada begitu banyak kebobrokan yang semakin borok. Praktik suap semakin merajalela, dimulai dari penerimaan CPNS di daerah-daerah yang terindikasikan sarat dengan praktik sogok menyogok hingga nominal yang tidak masuk akal.

Sampai dengan permainan proyek di Kementerian yang melibatkan tokoh tersohor di Republik ini. Yang pada akhirnya, rakyat jelatalah yang akan jadi korban.

Baiklah, saya ingin fokus pada jalannya birokrasi daerah. Selama rentang waktu hampir lima tahun berada di dalam sistem. Saya merasakan betul apa yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi hanya menjadi kesia-siaan belaka. Begitu banyak para pejabat yang duduk dan diangkat pada jabatan strategis bukan berdasarkan pertimbangan memiliki kemampuan. kecakapan dan watak pemimpin. Tapi lebih kepada sebesar apa perannya dalam ikut serta mensukseskan kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah. Selesai. Efek domino yang akan terjadi dengan duduknya pejabat tersebut hanyalah angin lalu bagi penguasa. Sekali lagi rakyat yang jadi korban paling menyedihkan.

Bagaimana tidak, dengan duduknya mereka yang dipilih dan diangkat untuk memimpin satu organisasi Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) bukan berdasarkan resume mereka selama jadi Pegawai Negeri Sipil. Tapi hanya berdasarkan pertimbangan politis, maka terjadilah begitu banyak kekacauan, kegiatan yang hanya berbasiskan penyerapan anggaran, penyimpangan UU/Perpres/PP/Permen dan lain sebagainya, hingga penyelewengan anggaran proyek di lapangan yang berimbas langsung terhadap rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang sebenarnya ditujukan untuk mempermudah kehidupan rakyat yang telah membayar gaji mereka, termasuk saya.

Saya melihat, lemahnya penegakan hukum menjadi biang semakin merajalelanya segala macam praktik yang memperparah kondisi bangsa ini. 

Pemerintahan, lembaga eksekutif yang diharapkan mampu menjalankan berbagai kegiatan yang berdampak pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Justru jadi ladang bagi segelintir orang untuk memperkaya diri. DPR/DPRD, lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat untuk menyuarakan keinginan dan kebutuhan mereka, malah jadi wahana para elit politik yang duduk untuk bermain anggaran dan menambah pundi-pundi kekayaannya. Ditambah lagi dengan lembaga yudikatif yang kondisinya sama saja. Segala macam cara dihalalkan untuk memuaskan nafsu segelintir orang yang punya kekuasaan.

Lantas, mau sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung. Akankah kita jadi Negara gagal, kekacauan muncul di mana-mana akibat kemarahan rakyat yang bisa saja tidak lagi terbendung. Kemudian para babi-babi kekenyangan yang duduk di kursi malasnya mencari suaka ke luar negeri dan tinggalkan rakyat dengan rakyat saling perang?

Tidakkah segelintir orang yang mempunyai semangat untuk perubahan bisa bersatu. Menepiskan semua kepentingan pribadi, golongan dan egonya?

Kalau terus berlangsung kekacauan sistemik yang terorganisir seperti saat ini. Bukan mustahil anak cucu kita akan mengalami hal yang sama seperti rakyat Ethiopia. 

Saya menyadari, ada tangan-tangan supersakti yang bermain di dalam semua kebijakan yang diputuskan. Tapi akankah kita terus kalah? menjadi bangsa yang dianggap bermental kerupuk.

Tapi saya punya harapan besar. Apalagi sebentar lagi moment Pemilu akan berlangsung, semoga rakyat semakin cerdas memilih wakil mereka dan memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Semoga para penguasa lokal yang dipilih rakyat bisa menjalankan amanahnya sebaik mungkin. 

Semoga para pemimpin ke depannya mengingat kembali bahwa Negara ini dibangun di atas tumpukan darah dan tulang para pejuang yang menginginkan anak cucunya hidup sejahtera dan merdeka dari segala macam penindasan.

Semoga pemimpin bukanlah pemimpi yang pengecut. Hanya mementingkan urusan perut dan di bawah perutnya sendiri.






Sabtu, 01 Maret 2014

Perambah Hutan, Harus dibina atau dibinasakan?

Terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 menandai kembali bergeliatnya upaya penegakan hukum terhadap para perambah hutan. Tidak tanggung-tanggung, ancaman denda maupun kurungan penjara menjadi lebih berat dibandingkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. 

Namun, sekali lagi, muncul pertanyaan. Mampukah Undang-Undang yang baru disahkan tersebut, menjadi senjata pamungkas untuk memberantas pengrusakan hutan yang semakin brutal.
Barangkali sampai saat ini, saya selaku tenaga teknis lapangan kehutanan. Belum melihat kesaktiannya.

Beberapa kali turun langsung ke kawasan hutan dalam berbagai tema kegiatan, masyarakat dengan santainya terus membuka kawasan hutan untuk kemudian dijadikan lahan perkebunan ataupun pertanian musiman. Kami selaku "orang kehutanan," tidak lagi dilihat sebagai perwakilan institusi yang mereka takuti. Bahkan di depan mata kami sendiri, para illegal logging dengan ponggahnya memotong kayu kemudian membentuknya menjadi papan dan balok untuk dijual secara bebas.

Lantas harus bagaimana lagi?

Saya percaya, para pemutus kebijakan di pusat sana jauh lebih pintar dari kami di daerah dalam menyusun skema penanggulangan perambahan hutan. Tapi, apalah arti skema, bila komitmen dan ketegasan tidak menyertai. Semua produk hukum untuk mengatur dan bertujuan untuk memberdayakan semua potensi yang ada di hutan akan jadi omong kosong. 

Kerusakan hutan semakin menjadi, pembakaran hutan untuk dijadikan lahan perkebunanan terus berulang, habitat satwa liar semakin rusak, beberapa populasi satwa liar bahkan semakin jarang terlihat atau bisa jadi punah di beberapa kawasan. 

Kalau melihat gelagat yang terus terjadi, tidak saja menjadi sebuah kemungkinan. Tapi juga kepastian, kawasan hutan akan semakin rusak atau bahkan musnah, sumber air bersih akan hilang dan bencana pasti datang.

Saya pribadi punya harapan besar, mungkin juga dengan para rimbawan yang lainnya.
Ada ketegasan dan komitmen serius dari para pemutus kebijakan, untuk memberikan solusi nyata menghadapi permasalahan yang semakin komplek dalam pengelolaan kawasan hutan.

Jangan sampai, hutan binasa, perambah hutan merajalela dan keseimbangan ekosistem semakin porak poranda. Mau ditaroh di mana muka kita nanti saat ditanya anak cucu. 

Jadi, perambah hutan, hendak dibina atau dibinasakan, kami siap untuk menjalankan semua kebijakan. Asalkan untuk kesejahteraan semua masyarakat Indonesia.