Minggu, 10 Agustus 2014

Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Kalau...

Beberapa hari yang lewat, saya terlibat dalam kepanitiaan penilaian Geopark Merangin Jambi untuk menjadi salah satu anggota Geoparks Global Network (GGN) Unesco. Di sini, saya tidak akan menceritakan apa saja yang terjadi selama proses penilaian dan apa saja yang dinilai, karena saya kira hal tersebut sudah dimuat oleh beberapa koran lokal maupun portal berita online. 

Saya ingin sedikit mengupas hal lain terkait mereka yang terlibat, entah sebagai panitia, para pengembira atau para penonton saja. Karena setelah saya perhatikan, rata-rata yang hadir adalah mereka dari kalangan terdidik, minimal menempuh pendidikan sekolat lanjutan tingkat atas, yang sejak sekolah dasar sudah diberikan pendidikan "buanglah sampah pada tempatnya." Tapi pada kenyataannya, apa yang saya lihat di lapangan adalah antitesis dari apa yang sudah mereka tahu semenjak kecil.
Sampah berserakan di mana-mana, pun sudah dikumpulkan dalam kantong plastik, tidak ada kepedulian dari mereka untuk menumpuknya pada satu areal khusus yang kemudian bisa diolah dengan baik. 
Paling mengecewakan bagi saya, hal tersebut terjadi di geosite yang memiliki nilai geologis tinggi dengan panorama yang menawan. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka, entah di mana tanggung jawab mereka. Mungkin mereka berpikir, sampah yang berserakan bisa hilang ditelan angin begitu saja. Miris. 
Permasalah sampah, bagi saya, sudah begitu kronis, mungkin sangat sedikit orang yang benar-benar peduli untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat mereka tinggal ataupun tempat yang mereka kunjungi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sudah terbiasa melihat orang-orang dengan seenaknya membuang sampah sembarang. Pun saya pada beberapa kali kesempatan, dan sejujurnya saya sangat menyesalinya.

Karena kita sama-sama tahu, sampah, terutama yang berbahan plastik, merupakan bahan yang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai dan memiliki unsur toxic yang dapat merusak kualitas tanah maupun air.

Lantas, apa yang salah?

Saya pikir, harus ada proses penyadaran dan pendidikan secara bersama, bagi mereka yang memiliki pemahaman untuk mengajak orang-orang di sekelilingnya untuk menjaga lingkungan, minimal tempat di mana mereka berdomisili dan kemudian beranjak ke areal yang lebih luas.

Kita menyadari, ketersediaan tempat sampah oleh Pemerintah masih sangat kurang, kalaupun ada, penegakan hukum terhadap mereka yang seenaknya mengotori lingkungan masih sangat minim.
Mari kita bergerak secara bersama-sama, yang dimulai dari diri sendiri, kemudian beranjak kepada keluarga, teman-teman dan lingkungan masyarakat.

Kita tentu tidak mau, jika pada suatu saat, kita atau anak cucu mengalami dampak buruk dari rusaknya lingkungan. Hilangnya air bersih, hilangnya kesuburan tanah, wabah penyakit menyebar di mana-mana dan yang paling buruk, kita harus kehilangan semua yang dimiliki karena tidak ada lagi yang bisa diberikan oleh bumi.

Karena jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga bumi.
Jangan sampai keinginan menjaga lingkungan cuma menjadi sebatas wacana. Sebelum semuanya terlambat.




Senin, 16 Juni 2014

Hutan Adat; Benteng Terakhir Pelestarian Sumber Daya Alam dan Kawasan Strategis Ekowisata.

Menjadi seorang abdi negara di bidang kehutanan secara otomatis membuat saya terlibat langsung dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Sudah pasti itu mah, saya tulis aja begitu biar tulisan ini jadi panjang. Ha ha ha ha.

Membina kawasan Hutan Adat, merupakan salah satu tupoksi yang harus saya jalankan. Di dalamnya ada kegiatan tata batas kawasan hutan adat dan pembinaan Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA). 

Secara hukum, hutan adat merupakan satu kawasan yang dikelola oleh masyarakat dan terpisah dari kawasan hutan negara. 

Pengukuhan hutan adat sendiri berawal dari pengajuan permohonan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan, yang mereka tasbihkan sebagai hutan adat dengan mempertimbangkan faktor fungsi kawasan sebagai zona tangkapan air atau pertimbangan kearifan lokal yang mereka punya. Selanjutnya adalah tugas Dinas Kehutanan untuk mengukur luas calon hutan adat dengan menggunakan teknis yang sudah ada, yaitu menggunakan GPS dengan melibatkan beberapa stakeholder terkait.

Pengukuhan kawasan hutan ditetapkan oleh Bupati dan selanjutnya menjadi pegangan hukum untuk KPHA mengemban amanah dan memanfaatkan kawasan ataupun meminta dukungan dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan potensi yang ada.
Hutan adat bagi saya, merupakan satu kawasan selain Taman Nasional, yang masih bisa diakui sebagai hutan. Sesuai dengan definsi pada UU No 41 Tahun 1999. Karena, kondisi keanekaragaman flora maupun fauna yang ada di dalam kawasan masih terjaga dengan baik dan apa adanya. Sehingga bisa memberikan manfaat secara langsung dan nyata terhadap masyarakat yang ada di sekitar.

Manfaat paling nyata dari keberadaan hutan adat adalah ketersediaan pasokan air yang tidak pernah habis walaupun sedang musim kemarau, yang digunakan masyarakat baik sebagai sumber air untuk mengaliri sawah mereka ataupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, ada banyak lagi potensi dari hutan adat yang seandainya bisa dikelola secara optimal, akan bisa memberikan dampak positif yang jauh lebih luas.

Hutan adat sebagai salah satu objek wisata salah satunya, yang bisa mendatangkan wisatawan lokal maupun luar negeri. Sehingga dapat memberikan dampak ekonomi nyata bagi masyarakat.

Karena, hutan adat yang ada, hampir semuanya memiliki nilai eksotisme dan ciri khas masing-masing. Baik dari satwa yang ada di dalam kawasan maupun landscape yang ada dengan adanya air terjun di dalam kawasan maupun nilai historis yang menyertainya.

Hutan adat, bisa diumpakan sebagai mutiara yang belum berada pada tangan pengrajin yang tepat. Pergerakan dunia pariwisata di tingkat global yang cenderung back to nature sebenarnya bisa jadi titik tolak optimalisasi potensi yang ada pada masing-masing kawasan hutan adat.

Selain unsur ekowisata yang dimiliki, hutan adat yang dikelola dan diatur oleh hukum adat, cenderung lebih terjaga dengan baik, karena biasanya masyarakat desa lebih patuh dengan hukum adat. Sehingga kelestarian flora dan fauna dapat terjaga dengan baik.

Merupakan pekerjaan rumah kita bersama, untuk mewujudkan hutan adat yang lebih bisa bermanfaat dari segi pelestarian sumber daya alam maupun munculnya kegiatan ekowisata yang bisa menumbuhkan ekonomi di tingkat desa melalui berbagai macam peluang yang bisa muncul ke depannya. 

Ketika Saya Harus Bingung.

"Bang, sehabis lebaran kamu segera menikah, ya?!" Ibu saya sekali lagi mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Entahlah, saya cuma bisa tertawa kecil mendengarnya.

"Jadi gimana, mau lanjut kuliah atau menikah?" Ayah mengajukan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Saya pun sekali lagi cuma bisa tertawa kecil. 

 Saya sendiri masih bingung untuk menentukan target mana yang harus saya pilih dan capai untuk tahun ini. Menikah atau lanjut kuliah?

Kedua-duanya punya berbagai kemungkinan untuk bisa diwujudkan atau malah gagal kesemuanya. Kalau saya memilih untuk menikah, siapa yang mau saya ajak menikah? pacar (yang entah akan berapa lama hubungan bisa bertahan) saat ini masih dalam masa kuliah. Saya sudah mengajukan tawaran ke dia untuk segera menikah, tapi dia sendiri ragu untuk meng-iya-kannya. Lantas bagaimana?

Untuk melanjutkan kuliah lagi, saya belum punya "jaminan" beasiswa, baik dari daerah ataupun pusat. Akan sangat berat rasanya kalau saya menggunakan uang sendiri di saat SK PNS saya sedang tidur manis di bank. :))

Jadi, saya sudah sewajarnya merasa bingung, kan? ha ha ha ha ha.


Minggu, 01 Juni 2014

Sepotong Cerita dari Ibukota

Berdasarkan surat perintah tugas yang saya terima, kali ini mengemban tugas yang berbeda dari biasanya keluar masuk desa dan hutan. Saya berkesempatan untuk menyambangi lagi Bogor, kota yang (dulu) saya anggap rumah kedua dan Ibukota Jakarta yang (dulu) saya datangi tiap minggu pada periode tahun 2004-2007. Saya masih beruntung kali ini, sama seperti tahun 2013, masih ada teman satu angkatan yang tinggal sendiri dan bisa ditumpangi. Walhasil, sampai masa tugas saya selesai, saya membuat dia sedikit repot. 

Apa yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang tugas yang saya emban, tapi cerita yang saya dapat ketika bertemu kembali dengan rekan-rekan satu kelas sewaktu menuntut ilmu di IPB dulu.
Sekarang, mereka sudah menjalani periode hidup yang berbeda, bekerja sembari menghidupi anak istri. Menempuh macetnya rute dari Bogor ke Jakarta, yang bagi saya, bisa menambah tingkat stress dalam hidup. Bayangkan saja, saya yang terbiasa menempuh perjalanan ke kantor dalam waktu hanya 15 menit, ketika ada di Bogor, untuk ke Baplan yang cuma berjarak kurang lebih 15km, saya membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Gila. 

Pun begitu ceritanya ketika saya akan ke Jakarta, mulai dari keluar gerbang perumahan teman saya. Langsung dihadapkan dengan kemacetan dan polusi yang membuat sesak nafas. Edan.

Kepadatan lalu lintas begitu cepat berubah, dari semasa saya dulu kuliah di Bogor, hari ini membuat saya berpikir kembali untuk melanjutkan kuliah di sana.

Kembali ke rekan-rekan semasa kuliah dulu, sekarang mereka dihadapkan dengan tuntutan untuk memenuhi sandang, pangan dan papan dengan biaya yang lebih besar daripada kehidupan saya di kota kecil. Untuk membeli rumah type 36 (saja). Mereka harus mengeluarkan total uang lebih dari 300juta-walaupun bisa lakukan dengan cara mencicil. Tapi tetap bagi saya yang hidup di kota dengan total uang yang sama bisa membangun rumah 3x lebih besar, merupakan hal yang membuat saya bersyukur bisa kembali ke kampung halaman dan bekerja dengan peluang hidup jauh lebih layak. Minimal, tidak terlalu pusing untuk memikirkan bagaimana membali rumah dan yang paling penting, tidak tua di jalan. Ha ha ha ha ha.

Jujur, saya salut dengan ketangguhan rekan-rekan saya yang bekerja di Ibukota Jakarta. Dengan beban yang begitu besar, mereka mampu menjalaninya dengan optimis. Walaupun memang, beban berat tidak serta merta bisa disembunyikan baik dari raut maupun sikap mereka yang sudah jauh berbeda ketika masa kuliah dulu.

Oh ya, saya sejujurnya bingung, tiap kali ke Bogor, saya selalu mendapat kesempatan untuk kembali mengenang kembali masa-masa awal masuk ke Fakultas melalui moment Bina Corps Rimbawan (BCR), walaupun sudah dengan status yang berbeda. Saya kali ini berkesempatan untuk duduk di depan para panitia BCR dan dapat berbagi cerita tentang bagaimana seharusnya seorang Rimbawan mengusung misi pelestarian hutan beserta ekosistemnya, maupun pemanfaatan potensi yang ada melalui cara-cara yang lebih bijak. Serta juga sedikit mengubah pola mendidik kharakter para rimbawan muda yang biasanya melalui cara-cara yang sedikit menjurus keras ke cara-cara yang lebih untuk melatih dan membangun kesadaran mereka untuk mempu menjalin kerjasama/networking yang jauh lebih penting daripada "ditakuti oleh junior" ataupun harus kompak, tapi malah cuma kompak dalam tekanan saja. Saya bersyukur untuk kesempatan yang saya terima kali ini. 

Saya juga berkesempatan untuk duduk bersama ketua dan wakil ketua angkatan 41 Fakultas Kehutanan IPB dan bersama-sama merumuskan skenario untuk lebih membangun kekompakan melalui cara-cara yang sistematis, terstruktur dan gerakan nyata yang bisa membuka kembali persfektif bahwa kerjasama di dalam satu angkatan amatlah penting untuk ke depannya bisa bersama-sama membangun kehutanan Indonesia melalui pola yang lebih cerdas dan berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Saya punya harapan besar ke depannya, semoga semua harapan dan ide yang tercetus bisa terealisasikan dengan baik. Sehingga saya dan rekan-rekan satu angkatan lain tidak hanya akan terperangkap dalam wacana dan menimbulkan penyesalan kelak. Amiin. 

Kamis, 20 Maret 2014

Dua Puluh Tujuh

Siapa yang bisa melawan perputaran waktu?

Sebagian dari saya hari ini masih merasa sebagai anak-anak yang ingin terus berpetualang dan bermain tanpa harus menjalani tanggung jawab besar sebagai orang dewasa. Sebagian lainnya sudah mulai mendesak untuk menjalani fase kehidupan seperti manusia kebanyakan; menikah, mempunyai keturunan, membangun rumah tangga yang mapan dan akhirnya mencapai banyak prestasi bersama keluarga yang dibina.

Besok, genap sudah menjalani usia yang baru. Kali ini sungguh memiliki nuansa yang berbeda, seolah ada beban, tanggung jawab dan tantangan yang semakin membuncah untuk segera dituntaskan. Sudah bukan masanya lagi untuk terus bermain-main. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sudah seberapa dewasa kah saya dalam menghadapi semuanya. Akan kah semuanya kembali bergulir seperti satu tahun kemarin? hanya berkutat di pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang tidak banyak menghasilkan prestasi besar?

Atau, akan ada perubahan signifikan ke depannya. Karena, seberapa masa bodohnya seseorang dengan lingkungan sekitar. Dia tidak akan mampu membohongi dirinya sendiri akan kebutuhan dan pencapaian-pencapaian yang dicita-citakannya.

So, semuanya akan terus saya hadapi, semoga kesalahan-kesalahan tidak lagi terulang dan semua cita-cita bisa lekas terwujud. 



Jumat, 07 Maret 2014

Kapan Nikah?

Oke, hari ini gue mendapat pertanyaan yang ke-1.678.764 kalinya tentang "kapan elu menikah?," it's fayn, temen-temen sekantor gue adalah segelintir manusia yang paling peduli terhadap status single rekan kerjanya. Ha ha ha ha. 


Beruntungnya gue selalu punya jawaban: 
1. Gue nunggu penyesuaian Pangkat dan Golongan. 
2. Gue pengen ngelanjutin pendidikan ke jenjang Pascasarjana. 
Kemudian mereka akan punya segudang alibi untuk mematahkan jawaban yang gue berikan, and that was so funny. Betapa mereka tidak pernah lelah mengajukan pertanyaan yang sama pada esok harinya dan akan terus berulang sampai gue MENIKAH. Damn!

Sebagai manusia yang hidup di tengah komunitas masyarakat setengah kota setengah ndeso. Gue mencoba memahami dasar mereka terus saja berulang kali mengajukan pertanyaan yang sama. MEREKA GAK PUNYA KERJAAN LAIN SELAIN ITU. PPFFTT *emot tanduk numbuh di kepala* 

Untuk seorang ABEGE yang menjelang usia aqil baliq seperti gue. Pertanyaan "kapan menikah?" seperti deru suara knalpot bajai di gang sempit perumahan di Jakarta. Berisik dan mengganggu, membuyarkan mimpi yang susah payah gue skenariokan dari kemarin malam. Ha ha ha ha.

Oukey, time for serious. But, wait. I wanna say hello to my ex. Kapan Menikah? 

Menikah, menjadi misteri terbesar untuk gue. Honestly. Gue gak punya kisi-kisi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Gue sendiri masih bingung untuk menentukan dengan siapa dan kapan akan menikah tepatnya. Hanya "insya Allah tahun ini. Haqqul yakin." O:-)

Siapa yang tidak mau menikah, kecuali cacing yang hermaprodit. #lah 
Tapi, pandangan yang terlalu mengeneralisir saat seseorang yang berusia matang dan mempunyai pekerjaan tetap harus segera menikah gak bisa donk diterapkan ke semua orang. Selalu ada latar belakang hingga seseorang seperti gue memilih untuk belum menikah sampai dengan usia aqil baliq seperti saat ini.
Menikah, menurut keyakinan gue. Bukanlah satu hal yang bisa dijalankan dengan asas "mangan ora mangan sing penting bergumul," YO ORA ISO, SU. Butuh modal dan kesiapan lahir maupun bathin. Karena gue melihat sendiri, betapa banyak pasangan yang berkomitmen untuk berumahtangga terjerumus dalam permasalahan yang tak kunjung usai karena keputusan mereka yang terburu-buru saat belum menikah.

Gue punya keyakinan, rumah tangga yang dijalani dengan kesiapan mental, dompet, fisik dan niat yang tulus untuk menyempurnakan agama. Adalah sebaik-baiknya kehidupan pernikahan. Harus ada perencanaan yang matang akan dengan siapa gue bakal menikah, bagaimana menjalaninya dari segi finansial, akan seperti apa pola dalam membesarkan keturunan, pemenuhan sandang pangan dan papan yang merata, pengembangan usaha sampingan dan banyak lainnya. Point paling penting adalah gue bakal yakin untuk berbagi hidup dengan pasangan gue baik dalam suka maupun duka hingga tua nanti. Bukan begitu, mahluk paling sempurna? He he he he.

Akan ada waktunya nanti. Tahun ini. Insya Allah. :D









NB: Sejujurnya, keimanan dan keimronan gue semakin memberontak. Jadi you know lah. :/

Kamis, 06 Maret 2014

Kenapa Harus Marah-Marah?

Akhir-akhir ini, mungkin banyak di antara kita yang menjumpai atau merasakan sendiri. Orang-orang yang suka mengumbar emosinya dalam bentuk amarah. Entah dengan berteriak, menggerutu atau bahkan mengumpat. Seakan cuma dengan marah, semua permasalahan yang dihadapi akan segera tuntas.

Saya baru saja mengalaminya pagi tadi. Dalam moment rapat resmi, saya harus menanggung kesalahan atasan dalam bentuk amarah dari "pejabat tinggi." Sungguh menyebalkan rasanya, tapi membalas dengan tindakan serupa juga tidak akan memberikan dampak apapun, bisa jadi malah akan memperburuk keadaan.

Saya cuma heran, kenapa begitu banyak orang suka sekali mengumbar amarahnya. Apalagi di depan khalayak ramai, bukankah itu cuma menunjukkan ketidakdewasaan mereka dalam bersikap.

Cobalah memberikan contoh yang baik, marah-marah untuk menunjukkan (seolah) dirinya paling benar tidak akan memberikan dampak baik. Malah hanya akan memperkeruh suasana atau bahkan lebih buruknya membuat seseorang menyimpan rasa dendam tak berkesudahan.

Saya mencoba memaklumi, kenapa sang bapak sampai sedemikian marahnya. Apalagi dengan posisi saya yang cuma anak bawang. Mungkin dia merasa bisa mengeluarkan uneg-unegnya dengan bebas. Coba saja saya seorang Presiden. Mana berani dia marah-marah dengan saya. Saya berani taruhan pacar (yang tidak saya punya). Ha ha ha ha.

Si bapak marah juga setelah saya renungkan, adalah akibat ketidakbecusan beberapa orang yang dibebankan amanah sebagai pejabat dalam menerjemahkan isi surat undangan rapat yang sudah mereka baca. Biasa, pejabat sekarang lebih suka rapat dan perjalanan dinas dengan fasilitas yang memberikan mereka kesenangan sesaat. He he he he.

Sebenarnya saya juga termasuk dalam kategori manusia yang suka mengeluarkan emosi/rasa tidak senang dalam bentuk amarah. Tapi ternyata, setelah kena semprot di depan publik. Saya berpikir ulang untuk marah-marah ke depannya.

Sepertinya, hidup akan lebih indah bila semua masalah dihadapi dengan tertawa. Walapun palsu. Ha ha ha ha ha.