Rabu, 13 Maret 2013

TWITTER

 
Pukul 23.00 WIKG (Waktu Indonesia Kamar Gue).
Bunyi jangkrik sedang nyaring-nyaringnya di kebun depan rumah.
Hape berbunyi, lagu Jalak aka Janda galak berputar secara otomatis.
Pandjul nelpon.
Gue panik.
Cocok nelpon malam-malam segini apa kamsudnya? 
Hehehehe, kagaklah.
Pandjul temen gue kok. Petarung sejati menghadapi kehidupan yang keras.
Jadi begini cerita telpon-telponan gue sama Pandjul. 
Demi kenyamanan mata elu yang baca, ada baik dan indahnya gue singkat. P adalah Pandjul, G adalah gue. #okesip #ambilposisiwoles
P:      Bro, gue pengen cerita, bisa?
G:     Ngantuk berat gue, Bro. Besok sajalah
P:      Ini tentang ketentraman hidup kita di twitter!
G:     Laaahh! Sejak kapan lu ada kehidupan lain? Setahu gue hidup lu gak jauh-jauh dari jualan koran, ngetwit sama nyepikin cewek-cewek cupu.
G:     Apa kabar emak lu, udah sembuh?
P:    Aman Bro, nyokap udah bisa lari keliling kampung sekarang 
G:     ……….
P:      Jadi gimana, mau gak lu dengerin cerita gue?
G:     Ya udah, lu mau cerita apa?
Pandjul mulai nyerocos bercerita, panjang kali lebar sama dengan tidak menemukan hasil. Dia mulai bercerita tentang Koim yang mendadak "merasa" menjadi Selebtwit.
P:     Gila, Bro. Gue mention dia ber-kali Cisadane, Ciliwung, Ciseeng ampe kali Cikotok, dicuekin mulu, kalaupun dibales jawabannya singkat-singkat. Dasar tutup panci, kagak inget dia pas kita sama-sama fakir follower
P:   Kita kan pernah gila-gilaan bareng. Seru gila, kan? kalau gue ingat masa-masa itu, gue pengen nge eh mewek
G:     Kitaaaa?!
P:      Iyaa!Kita!
P:    Terus dia sekarang cuma mau mentionan sama selebtwit, Bro. Mentang mentang dia difollow mereka
G:   Tweet dia bagus kali, Bro
Panjul emosi, gue menciut. Gue telponan sambil nonton film horror.
G:     Umm, terus? 
P:   Gue kagak terima, Bro. Gue merasa kagak dihargain! gue pengen twitwar sama dia
G:     Ebusyeet, berapa harga lu, njul?
P:      Muonyet, lu kata gue bola pingpong, pake nanya harga
G:     Emang lu udah nyiapin amunisi?
P:      Gue kagak butuh amunisi, gue butuh sokongan dari elu!
G:     Gue lagi malas cari masalah, kayak kagak ada kerjaan laen aja
G:     Anak kosan gue minta diajarin kalkulus besok noh
P:      Kagak bisa, Bro. Lu harus bantu gue, bijimanapun caranya!
G:     Biji lu keriput! Gue males, lu sono sendiri
P:      Tapi, Bro
G:     Males!
P:      Brooooo!
P:      Taeee lu, Bro. Temen macam apa lu!
G:      Matiin hape
Asap mengebul, dada gue sesak, gue pengen nangis. Bukan, bukan karena cerita Pandjul, ada tai cicak masuk mata, pas gue menatap langit kamar. Gue hina. Gue dirtik. 
*
Curahan hati Pandjul, sang maniak twitter mampu membuat saya merenungkan semua yang terjadi di lini masa.
Aduhai kreator twitter, pandai betul dirimu membuat sosial media yang melenakan sebagian dari kami. Bangsa yang di dalam buku Tetralogi Buru Bung Pramoedya Ananta Toer, digambarkan sebagai bangsa yang suka melakukan begitu banyak drama. Halal haram hantam, demi mencapai tujuan pribadi.
Saya secara pribadi juga salah satu di antara sekian juta pengguna twitter yang aktif berkicau di Timeline.
Saya menganggap apa yang terjadi di twitter adalah hal yang “WAH”. Cukup dengan 140 kharakter. Twitter bahkan mampu membuat:
  • Seseorang berubah bentuk menjadi rangkaian kata-kata.
  • Seseorang bebas menjadi siapa saja, selagi dia mau.
  • Dengan begitu gampangnya mendapatkan apa saja yang diinginkannya, yaitu di antara dunia lain:
  • Pelajaran hidup, salah satunya dari seorang Surayah @Pidibaiq melalui perbincangan dia dengan para follower;
  • Kegilaan-kegilaan baru;
  • Teman baru;
  • Pacar (ini butuh skill sepikan kelas wahid) selain kegantengan (padahal belum pernah sukses);
  • Relasi bisnis (ini perlu keahlian);
  • Hadiah kuis (ini perlu usaha, kecerdasan dan faktor luck);
  • Hinaan-hinaan tentang kejombloan seseorang;
  • Konten Agama;
  • Ramalan bintang;
  • Motivasi;
  • Polisi, Hakim dan Jaksa time line; 
  • Musuh (ini butuh mental) dan ada begitu buaanyak hal seru lainnya.
Cukup dengan satu kata, kamu bisa memancing keributan. Seperti; Pengecut dan akan berakhir pada tamparan di wajah oleh seorang wanita. 
Dari kata “ada”, bisa menjadikan pertemanan yang dulunya begitu hangat menjadi hambar.
Semuanya luar biasa dan saya bersyukur terlibat di dalam semua moment yang berlangsung. Ada banyak pelajaran yang bisa saya ambil, orang hebat yang selalu membagikan ilmunya setiap hari dan update opini dari berbagai macam manusia.
Adakalanya saya terbawa arus menertawakan beberapa orang yang terlalu berobsesi menjadi sesuatu. Apa itu namanya? Oh ya, Social Climber. Tapi cukup beberapa twit saja. 
Beberapa kali terpikirkan kalau tanpa kami follower, kalian para selebtwit bukan siapa-siapa. Hanya gerombolan tukang kicau kosong,
Ada saat di mana saya juga terpancing emosinya, meledak-ledak, merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap seseorang (padahal saya tidak tahu sesungguhnya dia seperti apa), bisa jadi dia keturunan Sultan Sulu yang hendak merampas kembali tanahnya di NKRI. Oke ini mulai ngawur. 
Tapi pada akhirnya saya sesali sendiri, adalah sebuah kesia-siaan, munculnya reaksi spontan yang saya letupkan melalui tweet menjurus nyinyir, dari berbagai macam anomali dan perasaan tidak nyaman akan apa yang terjadi di time line. 
Dan ada kata "ada" yang begitu banyak ditulisan ini. 
*
Saya akhirnya berhenti pada satu kesimpulan, alangkah baiknya twitter difungsikan sesuai apa yang kita inginkan saja. Tanpa harus mengganggu dan “merecoki” aktifitas penghuni lainnya.
Toh, saya punya kehidupan sendiri dan saya berhak menentukan isi tweet akan seperti apa. 
Demikan juga dengan mereka, kalau tidak suka tinggal unfollow. Beres.
Bebas saja orang lain mau menilai saya seperti apa, begitu juga saya. Namun alangkah baiknya disampaikan melalui cara santun apabila tidak suka akan satu hal.
Aduhai twitter, ada banyak hal lain yang ingin saya ceritakan. Ada juga begitu banyak yang tidak saya pahami. Begitu kecilnya seorang @sabtupahing dibesarnya dunia maya bernama twitter.
Hal-hal remeh temeh sebaiknya dicari penangkalnya. Sebelum semuanya menjadi huru-hara.
*
Menghidupkan kembali handphone.
Ada pesan baru whatsapp masuk.
Dari Pandjul. Biasa, siapa lagi.
P:   Bro, gue nemu akun cewek bispak! Bohay bener, Bro. Mau pinnya kagak lu?
Kemudian hening.
Suara jangkrik kembali bersahut-sahutan. Besok pekerjaan di kantor sudah menunggu. Kehidupan nyata jauh lebih menyenangkan.








Jumat, 08 Maret 2013

Jumud

Huruf terhenti sebab kegamangan

terlalu berpikir akan banyak hal

mengambang tak tertuangkan

Aku lupa cara melupakan tidak memikirkan apa pendapat orang

Jumud

Ada kisah yang tertahan pada ruang bernama pemikiran

Ada imajinasi yg terpecah belah pada akhirnya

Karut-marut

Menjadi bunga tidur yang menyenangkan

Tidak mampu mewujud

Jumud

Rabu, 06 Maret 2013

Teruntukmu, Ayah.


1981

“Mbok, aku njaluk ijin merantau, nggih?”, aku memberanikan diri berbicara ke Mbok pada satu pagi.

“Arep mangendi koe, le?”, dengan muka sendu Mbok bertanya.

“Sumantra, Mbok. Mas Wardi ngejak aku melok de’e. Lagian aku arep ngerasakke urip mandiri, nek njaluk kuliah aku ra gelem nambah beban Mbok’e”, sahutku.

“Tulung sisan ngomong karo Pa’e yo Mbok? Aku ra wani, eee”, pintaku.

“Yo wis, nek tekadmu wis bulat. Jaga diri, yo”, akhirnya Mbok memberikan jawaban. ”Masalah Pakmu, ngko ben Mbok sing ngomong. Koe siapke keperluanmu ae”

--------

1982

“No, cuci mangkoknya. Kita mau ngider lagi”, Mas Wardi sedikit berteriak.

“Nggih, Mas”, aku menyahut.

Kehidupan di Sumatera ternyata di luar bayanganku, mencari pekerjaan yang mapan ternyata tidak segampang yang aku bayangkan. Berbagai pekerjaan kasar harus aku jabani, mulai dari buruh bangunan, tukang ojek sampai akhirnya membantu Mas Wardi berjualan bakso keliling.

“Gimana hasil test mu kemarin, No?”, Mas Wardi mengajukan pertanyaan saat kami beranjak pulang. Jualan kami lumayan laris hari ini, hanya menyisakan beberapa butir daging bakso.

“Masih menunggu pengumuman, Mas”, sahutku.

“Oh, sing sabar yo”

“Nggih, Mas”

--------

1983

Nasib baik ternyata berpihak kepada mereka yang mau berusaha dan berikhtiar. Bermodalkan ijazah SMA, setelah melalui tes yang lumayan ketat. Aku akhirnya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di UPT Perdagangan Kabupaten Sarolangun Bangko. Walaupun dengan gaji seadanya, aku yakin semuanya akan menjadi jauh lebih baik.

Mbok dan Pa’e senang bukan main saat aku mengabarkan melalui surat. Mereka berpesan, selalu pegang prinsip kejujuran dan etos kerja tanpa pamrih. Aku mengiyakan, di sudut kamar kontrakan. Aku bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.

--------

Januari 1986

“No, salam dari Ramailis” kata Kak Unaizah

“Ah, yang bener, Kak?” Aku masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Walaupun dalam hati aku berteriak kegirangan.

“Iya, tadi di Sekolah dia bilang begitu”

Perkenalkan namanya Ramailis, wanita yang aku jumpai pertama kali saat sama-sama menjadi peserta di acara Diklat P4. Putri Minang tulen nan cantik. Tanpa pikir panjang, aku langsung meletakkan masa depanku adalah dia. Mungkin inilah yang dinamakan Cinta.

Akhirnya dia merespon balik salam yang aku titipkan melalui Kak Unaizah. Maklum, saat itu belum ada teknologi HP, boro-boro HP - listrik saja belum merata di seluruh Kota.
Ah cinta, aku bahagia.

--------

Februari 1986

Aku tergolek tak berdaya, virus malaria telah merampas seluruh tenaga yang aku punya. Jadi, di sinilah aku. Seorang diri menghadapi penyakit, jauh dari keluarga. Hanya teman dekat yang setia menemani.

“No, Ramailis datang”, Bisik Wakija.

Perlahan aku membuka mata, seolah tidak percaya. Pujaan hatiku datang dengan Kak Unaizah.
Mungkin, kalau waktu itu sudah ada teknologi perekam video. Kalian akan bisa melihat betapa senyumku mengembang dengan lebar. Seluruh energi seolah berkumpul kembali

Ternyata, selain dokter. Kekuatan cinta bisa mengobati berbagai macam penyakit. Hehehe 

--------

Maret 1986

Akhirnya aku resmi berpacaran dengan sang pujaan hati. Taman bunga seolah memenuhi kota ini. Pikiran untuk kembali ke Jawa seolah pudar. Kekuatan cinta no. 34, bisa menghilangkan kerinduan akan kampung halaman.

Semuanya berjalan sesuai dengan harapanku. Kami saling berusaha mengenali diri pasangan secara terbuka, aku bercerita semua tentang diriku, begitupun dengan dirinya.
Cinta memang indah bukan.

--------
 
Mei 1986

“Yank, aku mau mengajukan pertanyaan”, ujarku.

“Apa, Mas?”

Saat itu menjelang senja. Aku duduk di teras rumah dinas guru yang dia tempati.

“Aku ingin melamarmu, Aku ingin menjadikan kamu sebagai Istriku”

Dia menatapku dengan bola mata membesar. Mata yang di mataku menjadi semakin penuh pesona.

“Apakah tidak terlalu cepat, Mas? Kita baru berpacaran beberapa bulan”, suara itu mengalir dari mulutnya.

“Tidak ada kata terlalu cepat dalam cinta, Yank. Yang ada adalah seberapa besar keyakinan kita akan cinta dan komitmen untuk menjalaninya” Tukasku mantap.

Dia diam.

Aku diam. 

Aku biarkan dia bergumul dengan pikirannya, karena aku tidak mau menunda lagi. Usiaku sudah 26 tahun, dia 22 tahun. Usia yang sudah sewajarnya untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Berpacaran terlalu lama juga tak baik menurutku, terlalu banyak godaan yang menunggu.

--------

Juni 1986

“Saya terima nikahnya Ramailis binti Matalis, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan dua mayam emas dibayar tunai”, setengah berteriak aku melafazkan kata-kata yang sudah aku coba hafalkan selama tiga hari.

“Bagaimana saksi? SAH?”, Tanya Penghulu.

“Saaah!”, dengan kompak saksi dari pihakku dan dia bersuara.

“Alhamdulillahirrabbil Allamin, dengan ini kalian sah sebagai suami istri” lanjut Penghulu.

Aku bersyukur luar biasa dalam hati. Allah Maha Penyayang.

Dia menitikkan air mata haru.

Dengan khidmat dia mencium punggung tanganku, setengah berbisik dia berucap “Mas, jadilah imam yang baik bagi aku dan anak-anak kita kelak.

“Mas janji, dek” aku berbicara dan mematri dalam hati ucapan saat itu.

Selamat datang cinta yang dihalalkan oleh Allah SWT.

 ------

Selamat Ulang Tahun, Yah.
Engkau yang selalu aku hormati dan berjuang tanpa lelah menghidupi keluargamu.
Engkau yang selalu awet muda karena berhati riang dan tak henti-hentinya mencintai ibu tanpa banyak alasan.
Semoga selalu sehat dan berbahagia tanpa jeda.

Bangko, 3.25 PM.