Sabtu, 20 Juli 2013

Follower

Istilah Follower atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti pengikut, mulai terkenal sejak awal Twitter ada dan menjadi salah satu jejaring media sosial paling populer di dunia.
Untuk bisa jadi seorang Follower, tentu saja seseorang harus punya satu akun twitter, dengan id yang dia inginkan dan masih tersedia atau tidak, karena di Twitter, dua orang saja tidak akan bisa punya satu id akun yang sama.
Saya pertama kali membuat akun Twitter pada bulan September 2009, tapi akun ini tidak sempat berisikan tweet karena kebingungan penggunaan dan belum menemukan kenikmatannya di mana dan saya masih sebagai user Facebook, yang masih getol untuk update status. 
Baru pada Februari 2010, saya mulai aktif sebagai pengguna Twitter dan mulai menjadi Follower berbagai akun yang menyajikan informasi maupun berbagai macam keseruan yang bisa saya dapatkan dengan mudahnya. Saya menikmati setiap informasi yang tersaji di Timeline dan bisa menyalurkan hobi saya dalam menulis, walaupun hanya terbatas pada 140 karakter saja. Saya bisa dengan asyiknya mencurahkan berbagai pemikiran, berkomunikasi dengan kawan-kawan maupun curahan hati, tanpa saya harus khawatir dengan segala macam tetek bengek kosakata berjudul "nyinyir, caper, twitwar dll."
Tapi, pada 2012, mulai terjadi pergeseran penggunaan Twitter yang saya alami. Bermula dari satu komunitas, yang memang bertujuan untuk senang-senang dan akhirnya mulai berinteraksi dengan banyak akun Twitter lainnya, yang rata-rata didominasi oleh user yang usianya masih relatif sangat muda. Saya merasakan  ada begitu banyak perubahan, yang dulunya hanya sebagai Follower, sekarang mulai difollow oleh banyak akun lainnya. Entah mereka iseng atau sekedar kurang kerjaan. Saya sedikit banyak terpengaruh oleh trend yang berkembang, ada semacam perlombaan untuk bisa punya banyak Follower, intensitas saya untuk posting tweet semakin tinggi, berbagai tipe tweet saya coba, dan akhirnya saya bosan sendiri. Ada begitu banyak judul tweet nyinyir, caper, sok selebtwit, twitwar dan bla bla yang akhirnya lebih mendominasi dibandingkan upaya yang lebih postif dalam sebuah komunitas besar.
Ada sebuah trend yang saya bingung harus menyikapinya seperti apa. Satu komunitas atau lebih dikenal dengan sebutan Circle di Twitter yang beranggotakan orang-orang yang memiliki satu kesamaan, baik hobi maupun melempar tweet yang bisa mereka buat seru. Akhirnya bermetamorfosa menjadi satu komunitas yang selalu siap untuk twitwar; menyerang satu atau beberapa akun Twitter yang bersebrangan pemahaman dengan mereka. Lantas berhamburan tweet-tweet yang saya pikir kurang begitu pantas untuk di-postingkan dan jadilah satu atau beberapa orang menjadi pesakitan. Karena semakin banyak jumlah kamu, semakin tinggi variabel kebenaran (subjektif) yang dimiliki. Menyedihkan sekaligus suka bikin saya tertawa sendiri. "Pantas saja Belanda melalui VOC bisa bertahan begitu lama di Bumi Nusantara, bila generasi saat ini saja kelakuannya seperti itu," batin saya. Padahal perkara bisa dibuat simpel, kalau memang tidak suka, ya unfollow. Sibukkan diri dengan aktifitas lainnya, lebih bermanfaat, apalagi di bulan suci Ramdhan seperti saat ini.
"Manusia memang selalu ingin mendapatkan tempat istimewa. Bahkan untuk tinjanya," kurang lebih begitu ujar seorang Surayah Pidibaiq. Rasa solidaritas pada satu kelompok, mengalahkan logika, nalar maupun hati seseorang. Keinginan untuk menjadi superior. Tapi ada sisi lain pada diri saya yang berpikir, mungkin mereka masih terlalu muda untuk bisa bersikap santun dan menghargai begitu banyak perbedaan atau sekedar mencari keseruan disebabkan hidup mereka sangat tidak asyik di dunia nyata sehingga beralih ke dunia nyata. Dan bisa jadi, saya lah yang salah karena masih bertahan mem-follow mereka atau kurang pintar mendefinisikan maksud dan tujuan mereka. Untungnya saya bisa sedikit berdamai dengan ego, mulai mem-follow semua akun yang semula jadi follower saya, menjauh dari semua drama dan belajar menikmati semua yang tersaji di Time Line. Welcome to the Jungle, eh Twitter.

Selasa, 09 Juli 2013

Ramadhan 2103

Akhirnya, kembali merasakan bulan suci ramadhan. Masih sahur bersama keluarga tersayang, minus adik pertama yang sedang kuliah di Semarang. 
Semoga puasa kali ini, saya bisa mengukir pengalaman baru dan melompat ke fase hidup selanjutnya. Setidaknya, kehidupan harus bergerak sesuai kodratnya. 
Ada begitu banyak harapan yang ingin diwujudkan, paling utama adalah perbaikan kualitas diri. Mampu meningkatkan rasa sabar, mengontrol emosi ke arah yang positif, mengurangi sifat ceroboh dan banyak hal lainnya.
Apa yang harus disyukuri akhir-akhir ini adalah walaupun kerapkali kondisi fisik tidak prima yang disebabkan oleh keteledoran mengatur jadwal istirahat. Ada kepercayaan diri yang kembali, setelah sempat mengambang sejak lima tahun silam.
Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga ada perubahan, tidak perlu muluk-muluk, hal prinsipil saja dulu saya kira sudah cukup. Seperti semakin tercukupinya kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Amiin.

Senin, 01 Juli 2013

Prosesi Wisuda, Pentingkah?

Akhirnya, tanggal dan tempat wisuda sudah ditetapkan. Kamis, 4 Juli 2013. Setelah melewati proses panjang untuk mendapatkan gelar sarjana. Wisuda adalah titik puncak dari semua kegiatan sebagai mahasiswa yang sudah dijalani.Tapi, saya bahkan tidak punya ketertarikan sedikitpun untuk mengikuti wisuda. 

Mungkin terdengar aneh atau bisa jadi disebabkan saya sudah pernah mengikuti prosesi wisuda saat lulus di Program Diploma III. Saya memutuskan tidak akan ikut wisuda. Acara seremonial bagi saya cuma semacam pemborosan waktu, energi dan biaya tanpa subtansi. Karena penerapan akan gelar yang saya peroleh, bagi saya jauh lebih penting daripada cuma sekedar acara "bergesernya tali di toga," foto-foto dengan keluarga dan lain sebagainya. Biarlah, biaya yang sudah saya keluarkan untuk dan ternyata tidak mengikuti prosesi wisuda, bisa bermanfaat untuk para peserta lainnya.

Mungkin saya terlalu idealis, bisa jadi saya sudah terlalu muak dengan berbagai macam acara bersifat perayaan selama ini. Selamat wisuda kawan-kawan. Saya berbahagia untuk kita semuanya.

Jadi, pentingkah prosesi wisuda? 

Bagi saya, tidak.