Senin, 16 Juni 2014

Hutan Adat; Benteng Terakhir Pelestarian Sumber Daya Alam dan Kawasan Strategis Ekowisata.

Menjadi seorang abdi negara di bidang kehutanan secara otomatis membuat saya terlibat langsung dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Sudah pasti itu mah, saya tulis aja begitu biar tulisan ini jadi panjang. Ha ha ha ha.

Membina kawasan Hutan Adat, merupakan salah satu tupoksi yang harus saya jalankan. Di dalamnya ada kegiatan tata batas kawasan hutan adat dan pembinaan Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA). 

Secara hukum, hutan adat merupakan satu kawasan yang dikelola oleh masyarakat dan terpisah dari kawasan hutan negara. 

Pengukuhan hutan adat sendiri berawal dari pengajuan permohonan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan, yang mereka tasbihkan sebagai hutan adat dengan mempertimbangkan faktor fungsi kawasan sebagai zona tangkapan air atau pertimbangan kearifan lokal yang mereka punya. Selanjutnya adalah tugas Dinas Kehutanan untuk mengukur luas calon hutan adat dengan menggunakan teknis yang sudah ada, yaitu menggunakan GPS dengan melibatkan beberapa stakeholder terkait.

Pengukuhan kawasan hutan ditetapkan oleh Bupati dan selanjutnya menjadi pegangan hukum untuk KPHA mengemban amanah dan memanfaatkan kawasan ataupun meminta dukungan dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan potensi yang ada.
Hutan adat bagi saya, merupakan satu kawasan selain Taman Nasional, yang masih bisa diakui sebagai hutan. Sesuai dengan definsi pada UU No 41 Tahun 1999. Karena, kondisi keanekaragaman flora maupun fauna yang ada di dalam kawasan masih terjaga dengan baik dan apa adanya. Sehingga bisa memberikan manfaat secara langsung dan nyata terhadap masyarakat yang ada di sekitar.

Manfaat paling nyata dari keberadaan hutan adat adalah ketersediaan pasokan air yang tidak pernah habis walaupun sedang musim kemarau, yang digunakan masyarakat baik sebagai sumber air untuk mengaliri sawah mereka ataupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, ada banyak lagi potensi dari hutan adat yang seandainya bisa dikelola secara optimal, akan bisa memberikan dampak positif yang jauh lebih luas.

Hutan adat sebagai salah satu objek wisata salah satunya, yang bisa mendatangkan wisatawan lokal maupun luar negeri. Sehingga dapat memberikan dampak ekonomi nyata bagi masyarakat.

Karena, hutan adat yang ada, hampir semuanya memiliki nilai eksotisme dan ciri khas masing-masing. Baik dari satwa yang ada di dalam kawasan maupun landscape yang ada dengan adanya air terjun di dalam kawasan maupun nilai historis yang menyertainya.

Hutan adat, bisa diumpakan sebagai mutiara yang belum berada pada tangan pengrajin yang tepat. Pergerakan dunia pariwisata di tingkat global yang cenderung back to nature sebenarnya bisa jadi titik tolak optimalisasi potensi yang ada pada masing-masing kawasan hutan adat.

Selain unsur ekowisata yang dimiliki, hutan adat yang dikelola dan diatur oleh hukum adat, cenderung lebih terjaga dengan baik, karena biasanya masyarakat desa lebih patuh dengan hukum adat. Sehingga kelestarian flora dan fauna dapat terjaga dengan baik.

Merupakan pekerjaan rumah kita bersama, untuk mewujudkan hutan adat yang lebih bisa bermanfaat dari segi pelestarian sumber daya alam maupun munculnya kegiatan ekowisata yang bisa menumbuhkan ekonomi di tingkat desa melalui berbagai macam peluang yang bisa muncul ke depannya. 

Ketika Saya Harus Bingung.

"Bang, sehabis lebaran kamu segera menikah, ya?!" Ibu saya sekali lagi mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Entahlah, saya cuma bisa tertawa kecil mendengarnya.

"Jadi gimana, mau lanjut kuliah atau menikah?" Ayah mengajukan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Saya pun sekali lagi cuma bisa tertawa kecil. 

 Saya sendiri masih bingung untuk menentukan target mana yang harus saya pilih dan capai untuk tahun ini. Menikah atau lanjut kuliah?

Kedua-duanya punya berbagai kemungkinan untuk bisa diwujudkan atau malah gagal kesemuanya. Kalau saya memilih untuk menikah, siapa yang mau saya ajak menikah? pacar (yang entah akan berapa lama hubungan bisa bertahan) saat ini masih dalam masa kuliah. Saya sudah mengajukan tawaran ke dia untuk segera menikah, tapi dia sendiri ragu untuk meng-iya-kannya. Lantas bagaimana?

Untuk melanjutkan kuliah lagi, saya belum punya "jaminan" beasiswa, baik dari daerah ataupun pusat. Akan sangat berat rasanya kalau saya menggunakan uang sendiri di saat SK PNS saya sedang tidur manis di bank. :))

Jadi, saya sudah sewajarnya merasa bingung, kan? ha ha ha ha ha.


Minggu, 01 Juni 2014

Sepotong Cerita dari Ibukota

Berdasarkan surat perintah tugas yang saya terima, kali ini mengemban tugas yang berbeda dari biasanya keluar masuk desa dan hutan. Saya berkesempatan untuk menyambangi lagi Bogor, kota yang (dulu) saya anggap rumah kedua dan Ibukota Jakarta yang (dulu) saya datangi tiap minggu pada periode tahun 2004-2007. Saya masih beruntung kali ini, sama seperti tahun 2013, masih ada teman satu angkatan yang tinggal sendiri dan bisa ditumpangi. Walhasil, sampai masa tugas saya selesai, saya membuat dia sedikit repot. 

Apa yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang tugas yang saya emban, tapi cerita yang saya dapat ketika bertemu kembali dengan rekan-rekan satu kelas sewaktu menuntut ilmu di IPB dulu.
Sekarang, mereka sudah menjalani periode hidup yang berbeda, bekerja sembari menghidupi anak istri. Menempuh macetnya rute dari Bogor ke Jakarta, yang bagi saya, bisa menambah tingkat stress dalam hidup. Bayangkan saja, saya yang terbiasa menempuh perjalanan ke kantor dalam waktu hanya 15 menit, ketika ada di Bogor, untuk ke Baplan yang cuma berjarak kurang lebih 15km, saya membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Gila. 

Pun begitu ceritanya ketika saya akan ke Jakarta, mulai dari keluar gerbang perumahan teman saya. Langsung dihadapkan dengan kemacetan dan polusi yang membuat sesak nafas. Edan.

Kepadatan lalu lintas begitu cepat berubah, dari semasa saya dulu kuliah di Bogor, hari ini membuat saya berpikir kembali untuk melanjutkan kuliah di sana.

Kembali ke rekan-rekan semasa kuliah dulu, sekarang mereka dihadapkan dengan tuntutan untuk memenuhi sandang, pangan dan papan dengan biaya yang lebih besar daripada kehidupan saya di kota kecil. Untuk membeli rumah type 36 (saja). Mereka harus mengeluarkan total uang lebih dari 300juta-walaupun bisa lakukan dengan cara mencicil. Tapi tetap bagi saya yang hidup di kota dengan total uang yang sama bisa membangun rumah 3x lebih besar, merupakan hal yang membuat saya bersyukur bisa kembali ke kampung halaman dan bekerja dengan peluang hidup jauh lebih layak. Minimal, tidak terlalu pusing untuk memikirkan bagaimana membali rumah dan yang paling penting, tidak tua di jalan. Ha ha ha ha ha.

Jujur, saya salut dengan ketangguhan rekan-rekan saya yang bekerja di Ibukota Jakarta. Dengan beban yang begitu besar, mereka mampu menjalaninya dengan optimis. Walaupun memang, beban berat tidak serta merta bisa disembunyikan baik dari raut maupun sikap mereka yang sudah jauh berbeda ketika masa kuliah dulu.

Oh ya, saya sejujurnya bingung, tiap kali ke Bogor, saya selalu mendapat kesempatan untuk kembali mengenang kembali masa-masa awal masuk ke Fakultas melalui moment Bina Corps Rimbawan (BCR), walaupun sudah dengan status yang berbeda. Saya kali ini berkesempatan untuk duduk di depan para panitia BCR dan dapat berbagi cerita tentang bagaimana seharusnya seorang Rimbawan mengusung misi pelestarian hutan beserta ekosistemnya, maupun pemanfaatan potensi yang ada melalui cara-cara yang lebih bijak. Serta juga sedikit mengubah pola mendidik kharakter para rimbawan muda yang biasanya melalui cara-cara yang sedikit menjurus keras ke cara-cara yang lebih untuk melatih dan membangun kesadaran mereka untuk mempu menjalin kerjasama/networking yang jauh lebih penting daripada "ditakuti oleh junior" ataupun harus kompak, tapi malah cuma kompak dalam tekanan saja. Saya bersyukur untuk kesempatan yang saya terima kali ini. 

Saya juga berkesempatan untuk duduk bersama ketua dan wakil ketua angkatan 41 Fakultas Kehutanan IPB dan bersama-sama merumuskan skenario untuk lebih membangun kekompakan melalui cara-cara yang sistematis, terstruktur dan gerakan nyata yang bisa membuka kembali persfektif bahwa kerjasama di dalam satu angkatan amatlah penting untuk ke depannya bisa bersama-sama membangun kehutanan Indonesia melalui pola yang lebih cerdas dan berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Saya punya harapan besar ke depannya, semoga semua harapan dan ide yang tercetus bisa terealisasikan dengan baik. Sehingga saya dan rekan-rekan satu angkatan lain tidak hanya akan terperangkap dalam wacana dan menimbulkan penyesalan kelak. Amiin.