Senin, 03 Maret 2014

Rapor Merah Reformasi Birokrasi

Berbicara mengenai tata kelola Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kita akan berhadapan dengan satu sistem raksasa yang terdiri atas begitu banyak unsur dan orang perorang yang terlibat di dalamnya. 

Merunut kejadian pasca reformasi di Tahun 1998, yang pada mulanya Pemerintah berpusat di Jakarta, dengan perwakilan di Provinsi dan Kabupaten. Maka, semenjak disahkannya UU Otonomi Daerah. Terjadi pembagian wewenang kekuasaan. Daerah, dalam hal ini, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai wewenang lebih besar dalam mengembangkan dan meningkatan kesejahteraan daerahnya.

Semangat reformasi birokrasi terus digelorakan, harapan awal ialah terbentuknya suatu sistem yang bersih dari praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang digadang-gadangkan jadi penyebab bobroknya keadaan perekonomian dan kesejahteran rakyat Indonesia pada era orde baru.

Seingat saya yang pada saat meletusnya kejadian Mei tahun 1998 masih duduk di bangku kelas 6 SD. Gelora perubahan yang digerakkan oleh mahasiswa di Jakarta begitu terasa hingga ke daerah-daerah. Sehingga, pada saat pemilu pada tahun 1999. Saya sampai mengukir lambang kepala banteng bermoncong putih milik PDI Perjuangan. Karena merekalah yang jadi organisasi terbesar pada saat itu.

Tapi apa lacur, semakin saya beranjak besar, hingga saat ini menjadi bagian dari sebuah ekosistem bernama birokrasi. Perubahan yang diperjuangkan dengan mengorbankan begitu banyak nyawa dan hilangnya 13 orang aktivis tanpa tentu rimbanya. Sampai saat ini hanya jadi fatamorgana.

Ada begitu banyak kebobrokan yang semakin borok. Praktik suap semakin merajalela, dimulai dari penerimaan CPNS di daerah-daerah yang terindikasikan sarat dengan praktik sogok menyogok hingga nominal yang tidak masuk akal.

Sampai dengan permainan proyek di Kementerian yang melibatkan tokoh tersohor di Republik ini. Yang pada akhirnya, rakyat jelatalah yang akan jadi korban.

Baiklah, saya ingin fokus pada jalannya birokrasi daerah. Selama rentang waktu hampir lima tahun berada di dalam sistem. Saya merasakan betul apa yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi hanya menjadi kesia-siaan belaka. Begitu banyak para pejabat yang duduk dan diangkat pada jabatan strategis bukan berdasarkan pertimbangan memiliki kemampuan. kecakapan dan watak pemimpin. Tapi lebih kepada sebesar apa perannya dalam ikut serta mensukseskan kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah. Selesai. Efek domino yang akan terjadi dengan duduknya pejabat tersebut hanyalah angin lalu bagi penguasa. Sekali lagi rakyat yang jadi korban paling menyedihkan.

Bagaimana tidak, dengan duduknya mereka yang dipilih dan diangkat untuk memimpin satu organisasi Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) bukan berdasarkan resume mereka selama jadi Pegawai Negeri Sipil. Tapi hanya berdasarkan pertimbangan politis, maka terjadilah begitu banyak kekacauan, kegiatan yang hanya berbasiskan penyerapan anggaran, penyimpangan UU/Perpres/PP/Permen dan lain sebagainya, hingga penyelewengan anggaran proyek di lapangan yang berimbas langsung terhadap rendahnya kualitas sarana dan prasarana yang sebenarnya ditujukan untuk mempermudah kehidupan rakyat yang telah membayar gaji mereka, termasuk saya.

Saya melihat, lemahnya penegakan hukum menjadi biang semakin merajalelanya segala macam praktik yang memperparah kondisi bangsa ini. 

Pemerintahan, lembaga eksekutif yang diharapkan mampu menjalankan berbagai kegiatan yang berdampak pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Justru jadi ladang bagi segelintir orang untuk memperkaya diri. DPR/DPRD, lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat untuk menyuarakan keinginan dan kebutuhan mereka, malah jadi wahana para elit politik yang duduk untuk bermain anggaran dan menambah pundi-pundi kekayaannya. Ditambah lagi dengan lembaga yudikatif yang kondisinya sama saja. Segala macam cara dihalalkan untuk memuaskan nafsu segelintir orang yang punya kekuasaan.

Lantas, mau sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung. Akankah kita jadi Negara gagal, kekacauan muncul di mana-mana akibat kemarahan rakyat yang bisa saja tidak lagi terbendung. Kemudian para babi-babi kekenyangan yang duduk di kursi malasnya mencari suaka ke luar negeri dan tinggalkan rakyat dengan rakyat saling perang?

Tidakkah segelintir orang yang mempunyai semangat untuk perubahan bisa bersatu. Menepiskan semua kepentingan pribadi, golongan dan egonya?

Kalau terus berlangsung kekacauan sistemik yang terorganisir seperti saat ini. Bukan mustahil anak cucu kita akan mengalami hal yang sama seperti rakyat Ethiopia. 

Saya menyadari, ada tangan-tangan supersakti yang bermain di dalam semua kebijakan yang diputuskan. Tapi akankah kita terus kalah? menjadi bangsa yang dianggap bermental kerupuk.

Tapi saya punya harapan besar. Apalagi sebentar lagi moment Pemilu akan berlangsung, semoga rakyat semakin cerdas memilih wakil mereka dan memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Semoga para penguasa lokal yang dipilih rakyat bisa menjalankan amanahnya sebaik mungkin. 

Semoga para pemimpin ke depannya mengingat kembali bahwa Negara ini dibangun di atas tumpukan darah dan tulang para pejuang yang menginginkan anak cucunya hidup sejahtera dan merdeka dari segala macam penindasan.

Semoga pemimpin bukanlah pemimpi yang pengecut. Hanya mementingkan urusan perut dan di bawah perutnya sendiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar