Berbicara mengenai tata kelola Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka kita akan berhadapan dengan satu sistem raksasa yang terdiri
atas begitu banyak unsur dan orang perorang yang terlibat di dalamnya.
Merunut kejadian pasca reformasi di Tahun
1998, yang pada mulanya Pemerintah berpusat di Jakarta, dengan perwakilan di
Provinsi dan Kabupaten. Maka, semenjak disahkannya UU Otonomi Daerah. Terjadi
pembagian wewenang kekuasaan. Daerah, dalam hal ini, Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota mempunyai wewenang lebih besar dalam mengembangkan dan
meningkatan kesejahteraan daerahnya.
Semangat reformasi birokrasi terus
digelorakan, harapan awal ialah terbentuknya suatu sistem yang bersih dari
praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang digadang-gadangkan jadi penyebab
bobroknya keadaan perekonomian dan kesejahteran rakyat Indonesia pada era orde
baru.
Seingat saya yang pada saat meletusnya
kejadian Mei tahun 1998 masih duduk di bangku kelas 6 SD. Gelora perubahan yang
digerakkan oleh mahasiswa di Jakarta begitu terasa hingga ke daerah-daerah.
Sehingga, pada saat pemilu pada tahun 1999. Saya sampai mengukir lambang kepala
banteng bermoncong putih milik PDI Perjuangan. Karena merekalah yang jadi
organisasi terbesar pada saat itu.
Tapi apa lacur, semakin saya beranjak
besar, hingga saat ini menjadi bagian dari sebuah ekosistem bernama birokrasi.
Perubahan yang diperjuangkan dengan mengorbankan begitu banyak nyawa dan
hilangnya 13 orang aktivis tanpa tentu rimbanya. Sampai saat ini hanya jadi
fatamorgana.
Ada begitu banyak kebobrokan yang semakin
borok. Praktik suap semakin merajalela, dimulai dari penerimaan CPNS di
daerah-daerah yang terindikasikan sarat dengan praktik sogok menyogok hingga
nominal yang tidak masuk akal.
Sampai dengan permainan proyek di
Kementerian yang melibatkan tokoh tersohor di Republik ini. Yang pada akhirnya,
rakyat jelatalah yang akan jadi korban.
Baiklah, saya ingin fokus pada jalannya
birokrasi daerah. Selama rentang waktu hampir lima tahun berada di dalam
sistem. Saya merasakan betul apa yang dicita-citakan oleh para pejuang
reformasi hanya menjadi kesia-siaan belaka. Begitu banyak para pejabat yang
duduk dan diangkat pada jabatan strategis bukan berdasarkan pertimbangan
memiliki kemampuan. kecakapan dan watak pemimpin. Tapi lebih kepada sebesar apa
perannya dalam ikut serta mensukseskan kandidat yang terpilih menjadi kepala
daerah. Selesai. Efek domino yang akan terjadi dengan duduknya pejabat tersebut
hanyalah angin lalu bagi penguasa. Sekali lagi rakyat yang jadi korban paling
menyedihkan.
Bagaimana tidak, dengan duduknya mereka
yang dipilih dan diangkat untuk memimpin satu organisasi Satuan Kerja Perangkat
Dinas (SKPD) bukan berdasarkan resume mereka selama jadi Pegawai Negeri Sipil.
Tapi hanya berdasarkan pertimbangan politis, maka terjadilah begitu banyak
kekacauan, kegiatan yang hanya berbasiskan penyerapan anggaran, penyimpangan
UU/Perpres/PP/Permen dan lain sebagainya, hingga penyelewengan anggaran proyek
di lapangan yang berimbas langsung terhadap rendahnya kualitas sarana dan
prasarana yang sebenarnya ditujukan untuk mempermudah kehidupan rakyat yang
telah membayar gaji mereka, termasuk saya.
Saya melihat, lemahnya penegakan hukum
menjadi biang semakin merajalelanya segala macam praktik yang memperparah
kondisi bangsa ini.
Pemerintahan, lembaga eksekutif yang
diharapkan mampu menjalankan berbagai kegiatan yang berdampak pada meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Justru jadi ladang bagi segelintir orang untuk
memperkaya diri. DPR/DPRD, lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat untuk
menyuarakan keinginan dan kebutuhan mereka, malah jadi wahana para elit politik
yang duduk untuk bermain anggaran dan menambah pundi-pundi kekayaannya. Ditambah lagi dengan lembaga yudikatif
yang kondisinya sama saja. Segala macam cara dihalalkan untuk memuaskan nafsu
segelintir orang yang punya kekuasaan.
Lantas, mau sampai kapan kondisi ini akan
terus berlangsung. Akankah kita jadi Negara gagal, kekacauan muncul di
mana-mana akibat kemarahan rakyat yang bisa saja tidak lagi terbendung.
Kemudian para babi-babi kekenyangan yang duduk di kursi malasnya mencari suaka
ke luar negeri dan tinggalkan rakyat dengan rakyat saling perang?
Tidakkah segelintir orang yang mempunyai
semangat untuk perubahan bisa bersatu. Menepiskan semua kepentingan pribadi,
golongan dan egonya?
Kalau terus berlangsung kekacauan sistemik
yang terorganisir seperti saat ini. Bukan mustahil anak cucu kita akan
mengalami hal yang sama seperti rakyat Ethiopia.
Saya menyadari, ada tangan-tangan
supersakti yang bermain di dalam semua kebijakan yang diputuskan. Tapi akankah
kita terus kalah? menjadi bangsa yang dianggap bermental kerupuk.
Tapi saya punya harapan besar. Apalagi
sebentar lagi moment Pemilu akan berlangsung, semoga rakyat semakin cerdas
memilih wakil mereka dan memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.
Semoga para penguasa lokal yang dipilih
rakyat bisa menjalankan amanahnya sebaik mungkin.
Semoga para pemimpin ke depannya mengingat
kembali bahwa Negara ini dibangun di atas tumpukan darah dan tulang para pejuang
yang menginginkan anak cucunya hidup sejahtera dan merdeka dari segala macam
penindasan.
Semoga pemimpin bukanlah pemimpi yang
pengecut. Hanya mementingkan urusan perut dan di bawah perutnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar