Minggu, 01 Juni 2014

Sepotong Cerita dari Ibukota

Berdasarkan surat perintah tugas yang saya terima, kali ini mengemban tugas yang berbeda dari biasanya keluar masuk desa dan hutan. Saya berkesempatan untuk menyambangi lagi Bogor, kota yang (dulu) saya anggap rumah kedua dan Ibukota Jakarta yang (dulu) saya datangi tiap minggu pada periode tahun 2004-2007. Saya masih beruntung kali ini, sama seperti tahun 2013, masih ada teman satu angkatan yang tinggal sendiri dan bisa ditumpangi. Walhasil, sampai masa tugas saya selesai, saya membuat dia sedikit repot. 

Apa yang ingin saya ceritakan di sini bukan tentang tugas yang saya emban, tapi cerita yang saya dapat ketika bertemu kembali dengan rekan-rekan satu kelas sewaktu menuntut ilmu di IPB dulu.
Sekarang, mereka sudah menjalani periode hidup yang berbeda, bekerja sembari menghidupi anak istri. Menempuh macetnya rute dari Bogor ke Jakarta, yang bagi saya, bisa menambah tingkat stress dalam hidup. Bayangkan saja, saya yang terbiasa menempuh perjalanan ke kantor dalam waktu hanya 15 menit, ketika ada di Bogor, untuk ke Baplan yang cuma berjarak kurang lebih 15km, saya membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Gila. 

Pun begitu ceritanya ketika saya akan ke Jakarta, mulai dari keluar gerbang perumahan teman saya. Langsung dihadapkan dengan kemacetan dan polusi yang membuat sesak nafas. Edan.

Kepadatan lalu lintas begitu cepat berubah, dari semasa saya dulu kuliah di Bogor, hari ini membuat saya berpikir kembali untuk melanjutkan kuliah di sana.

Kembali ke rekan-rekan semasa kuliah dulu, sekarang mereka dihadapkan dengan tuntutan untuk memenuhi sandang, pangan dan papan dengan biaya yang lebih besar daripada kehidupan saya di kota kecil. Untuk membeli rumah type 36 (saja). Mereka harus mengeluarkan total uang lebih dari 300juta-walaupun bisa lakukan dengan cara mencicil. Tapi tetap bagi saya yang hidup di kota dengan total uang yang sama bisa membangun rumah 3x lebih besar, merupakan hal yang membuat saya bersyukur bisa kembali ke kampung halaman dan bekerja dengan peluang hidup jauh lebih layak. Minimal, tidak terlalu pusing untuk memikirkan bagaimana membali rumah dan yang paling penting, tidak tua di jalan. Ha ha ha ha ha.

Jujur, saya salut dengan ketangguhan rekan-rekan saya yang bekerja di Ibukota Jakarta. Dengan beban yang begitu besar, mereka mampu menjalaninya dengan optimis. Walaupun memang, beban berat tidak serta merta bisa disembunyikan baik dari raut maupun sikap mereka yang sudah jauh berbeda ketika masa kuliah dulu.

Oh ya, saya sejujurnya bingung, tiap kali ke Bogor, saya selalu mendapat kesempatan untuk kembali mengenang kembali masa-masa awal masuk ke Fakultas melalui moment Bina Corps Rimbawan (BCR), walaupun sudah dengan status yang berbeda. Saya kali ini berkesempatan untuk duduk di depan para panitia BCR dan dapat berbagi cerita tentang bagaimana seharusnya seorang Rimbawan mengusung misi pelestarian hutan beserta ekosistemnya, maupun pemanfaatan potensi yang ada melalui cara-cara yang lebih bijak. Serta juga sedikit mengubah pola mendidik kharakter para rimbawan muda yang biasanya melalui cara-cara yang sedikit menjurus keras ke cara-cara yang lebih untuk melatih dan membangun kesadaran mereka untuk mempu menjalin kerjasama/networking yang jauh lebih penting daripada "ditakuti oleh junior" ataupun harus kompak, tapi malah cuma kompak dalam tekanan saja. Saya bersyukur untuk kesempatan yang saya terima kali ini. 

Saya juga berkesempatan untuk duduk bersama ketua dan wakil ketua angkatan 41 Fakultas Kehutanan IPB dan bersama-sama merumuskan skenario untuk lebih membangun kekompakan melalui cara-cara yang sistematis, terstruktur dan gerakan nyata yang bisa membuka kembali persfektif bahwa kerjasama di dalam satu angkatan amatlah penting untuk ke depannya bisa bersama-sama membangun kehutanan Indonesia melalui pola yang lebih cerdas dan berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Saya punya harapan besar ke depannya, semoga semua harapan dan ide yang tercetus bisa terealisasikan dengan baik. Sehingga saya dan rekan-rekan satu angkatan lain tidak hanya akan terperangkap dalam wacana dan menimbulkan penyesalan kelak. Amiin. 

1 komentar: