Tok!tok!tok! "Baaaangg, baaaangg!!" Sudah hampir lima belas menit aku menggedor pintu, masih saja Bang Bujang belum bangun.
"Baang, ini ada sarapan buat abang dari Emak, makanan kesukaaan abang" masih juga aku belum jera berteriak memanggil. Berharap Bang Bujang bangun.
Perkenalkan aku, Ahmad. Anak ibu kost-an. Berusia 16 Tahun dan sedang menginjak puber pertama. Bukan, ini bukan tentang aku. Tapi tentang Bang Bujang.
Kalau boleh aku sedikit bercerita tentang dia. Cerita yang baru semalam mengalir dari mulut hitam dan tak pernah berhenti mengepulkan asap tembakau ber-merk dji sam soe.
Nama aslinya tak pernah ada yang tahu, penduduk desa ini cuma memanggil dia dengan sebutan Bang Bujang.
Bang Bujang berasal dari kota sebelah. Keluarganya adalah keluarga terpandang, yang aku sendiri tidak pernah berjumpa.
Bang Bujang mengawali kisah dari lima belas tahun yang lampau. Selepas dia menyelesaikan pendidikan sarjananya, dia menguatkan tekad mencari pengalaman baru di tempat lain. Jauh dari orangtua dan jauh dari cinta.
Memulai usaha dengan berjualan keliling bermacam kebutuhan rumah tangga, dan dengan sikapnya yang sopan. Usaha Bang Bujang melesat, dia membuka berbagai macam jenis usaha lainnya. Ilmu Manajemen Ekonomi yang didapatkannya di bangku kuliah dimaksimalkannya dalam menghandle usahanya. Anak buah berjumlah ratusan dan masyarakat menaruh hormat kepada dia.
Usaha dia yang semakin berkembang, bukan lantas membuat Bang Bujang berbahagia. Ada luka menganga di hatinya. Dia mewujudkan diri sebagai sosok yang tangguh di depan karyawan dan masyarakat. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia adalah pemuja satu orang wanita. Wanita yang menjadi bait-bait puisi dalam buku berwarna coklat tua.
Seberapa jauh kamu berlari, kehidupan akan selalu bersinggungan kembali.
Satu hari, saat Bang Bujang berkunjung ke salah satu Outlet makanan ringan dia di tengah kota.
Masa lalu yang paling dia hindari datang dan masih tetap dengan sejuta pesonanya.
Bang Bujang tidak mampu menahan gejolak dan kenangan yang pernah mereka jalin bersama.
Saat matanya dan sang kekasih hatinya bersitatap. Bang Bujang seakan tidak mampu merasakan kedua sendi kakinya.
Dia terduduk lemas dan dia cuma mampu melihat sang pujaaan hati pergi menjauh dengan menggandeng buah hatinya.
Hati, sesuatu yang paling rumit dipahami. Bagi Bang Bujang, semuanya seakan berakhir. dan semuanya awal dari kebangkrutan dalam hidupnya.
Bang Bujang menjadi orang yang tidak dikenali oleh orang-orang di sekitarnya.
Bang Bujang tidak mampu menerima kenyataan, kalau sang pujaan hati tidak tergerak sedikitpun untuk mau menjalin komunikasi lagi dengannya.
Saat kemarin dia memberanikan diri datang ke rumah sang pujaan hati. Dia mendapatkan jawaban yang semakin meluluhlantakkan semangat hidupnya.
"Jasmine, boleh abang bicara" tanya Bang Bujang.
"Apa lagi yang harus dibahas, Bang. Semuanya sudah sangat terlambat" Tegas Jasmine.
"Aku sudah menunggu abang selama lima tahun, tapi tak pernah aku temukan sedikitpun itikad baik dari abang" Sedikit berteriak Jasmine berkata.
"Tapi dek, abang sudah berusaha mencari kamu. Yang abang dapatkan cuma rumah lapuk dan tak berpenghuni" dengan muka putus asa Bang Bujang berusaha meyakinkan.
"Cukup, Bang. Kalau abang benar-benar cinta, pasti abang akan berusaha sekuat tenaga. Untuk meyakinkan kedua orangtuaku dan menjadi sosok pria yang mampu membuatku bahagia!" Kali ini Jasmine berteriak sambil menahan isak tangis.
Bang Bujang cuma bisa terpaku, pikirannya melayang saat dia tidak mampu meyakinkan kedua Orangtua Jasmine. Saat dia dengan kelemahan hatinya beranjak pergi mencari kehidupan lain.
Selanjutnya kebangkrutan demi kebangkutan dialami oleh Bang Bujang. Hidup cuma seperti kerjap lampu malam. Menyala pada saat malam hari. Dari satu bar ke bar lainnya. Dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita malam lainnya.
.......................
"Emaaak, Bang Bujaang Maaak!!" Teriakku histeris.
"Ada apa, Mad. Ada apa?!!" Emak tak kalah histeris.
"Bang Bujang mulutnya penuh busa, Mak" sambil sesungukan aku berbicara.
Hebohlah kampung kami yang terletak di pinggir kota.
Aku hanya bisa menyesali, kenapa malam tadi aku mulai bertanya tentang cinta kepada Bang Bujang.
Aku cuma ingat satu pesan beliau "Boy (oh ya, ini panggilan khasnya ke aku) kalau kau tidak punya hati dan prinsip yang kuat dalam memperjuangkan cinta. Jangan pernah jatuh cinta dan menyerahkan hatimu pada satu wanita" lantas kemudian berkepul-kepul asap keluar dari mulutnya.
Selamat jalan bang bujang, dan periode pubertasku terganggu.
Bangko, 13.17 . Pada tanggal 2 Maret Tahun 2013 Masehi.
ide tulisannya bagus. soal kehidupan laki-laki yang turun drastis karena cinta. (aku cuma berharap kamu ga kayak Bang Bujang, ya, Jem... *keplak!*)
BalasHapus(lagi-lagi) tanda baca. juga perhatiin penggunaan huruf kapital. kadang udah bener "Bang Bujang", kadang jadi "bang bujang".
seharusnya "Emak" bukan "emak". huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan harus pakai huruf kapital.
good job, Jemmy! mari saling belajar :)
Iya, aku memang kerap terburu-buru dalam menulis dan mengabaikan ejaan yang baik. Terima kasih Vanda, akan aku edit dan ayookk! kita saling support.
Hapustelaten buat sunting tulisan berulang kali, Jem! SEMANGAAAAATTTT!!!!
Hapusyoi nda, nanti di laptop aku edit ulang. ngeblognya masih via hp. lebih lancar idenya ngetik di hape masalahya..
HapusAku suka tulisannya tapi ngga suka ceritanya. Nah, kan bingung. Ya gitu aja. Pria dengan (satu wanita) kenangan dalam hidupnya cuma menghitamkan hati saja. *Eh, pake hati ini mah* :D
BalasHapusbilas hati pake rinso. :')
Hapus