"Ibu, Ayah pulang" Teriakku kegirangan. Anak kecil berbadan kurus dan berkulit hitam.
"Simpan sepatu dan segera buatkan teh untuk Ayahmu, Nak" Ujar Ibu lembut.
Aku menatap ayahku dan kemudian mencium dengan khidmat punggung tangan kurusnya. Iya, ini dia Ayahku. Pria berkumis lebat tapi tidak berbadan besar. Pria yang sedari mudanya merantau jauh dari tanah Jawa-tanah kelahirannya, mencoba memperbaiki nasib tanpa bergantung modal dari orangtuanya.
Ayah baru saja pulang dari Bandung. Menjenguk sejenak keluarga yang dicintainya, untuk kembali Pulang ke Bandung dan menyelesaikan pendidikan keahliannya.
Aku yang masih kecil sedari waktu itu, melonjak kegirangan saat Ayah pulang. Yang artinya, Aku bisa bercengkrama dan minta dibelikan berbagai macam kue. Aku yang tidak perlu tidur mengeloni baju bekas pakai Ayah tiap malamnya.
Esok harinya..
"Yah, bagaimana Bandung?" tanyaku.
"Bandung dingin, Nak dan selalu penuh kreativitas" Ayah menimpali pertanyaanku..
"Terus yah, apalagi" Mataku berbinar dengan berjuta rasa ingin tahu..
Selanjutnya yang terjadi adalah Ayah yang bercerita penuh kelembutan dan anaknya yang dengan takjub mendengarkan.
Selalu begitu, setiap Ayah pulang dan aku akan menunggu setiap ceritanya dengan hati yang riang. Aku yang masih anak ingusan dan Ayah yang selama tiga tahun menempuh pendidikan keahlian demi menunjang karirnya di Pemerintahan.
Saat yang paling berat adalah selalu tentang perpisahan dari hati dan jiwa yang saling menyayangi.
Aku si anak ingusan, Ayah yang menyampirkan tas tua di pundak kurusnya. Ibu yang tetes demi tetes menitikkan air matanya, adikku yang masih belum tahu apa-apa karena dia masih belia.
Kami berempat khidmat menanti bus yang akan membawa ayah pergi ke Bandung. Kawah candradimuka-nya.
Saat perpisahan itu terjadi.
"Yah, selalu jaga kesehatan dan selalu kirim surat ya" ujar ibu dalam isaknya.
Ayah mencium kening Ibu dengan kasih sayang.
Aku cuma bisa terisak dengan ingus yang meleber ke mana-mana.
"Nak, jaga Ibu dan adikmu, jangan bandel, kamu jagoan Ayah" Pesan Ayah.
"Baik, yah" sembari sesungukan aku mencium punggung tangan ayah sekali lagi.
Ayah menaiki bus dan aku merasakan perasaan kehilangan.
"Yah, aku menunggu saat kepulanganmu lagi, saat di mana aku bisa menanyakan beribu pertanyaan
dan tidur di bawah ketiakmu" teriakku.
Kemudian langkah kecilku mencoba menyamai langkah Ibu. Untuk pulang, ke rumah, yang ditinggal
Ayah. Untuk nanti kembali pulang dengan kehangatannya.
Bangko, 1995
ini kisah nyata kah? karena aku merasa ada ruh di tulisan ini. perasaan sedih, rindu, bahagia, sayang juga kekaguman seorang anak kecil ke ayahnya, berhasil kamu tuang dengan baik.
BalasHapusperhatiin tanda baca, ya, Jem.. :)
Iya, ini nyata. :')
Hapusmemang harus banyak belajar lagi tata cara penulisan akunya. Terima kasih sangat, Nda.
Mengharu biru ....
BalasHapusberderai air mataku :'((
Hapus