Sabtu, 04 Januari 2014

Sang Raja

Dia lahir bulan Februari tahun kemarin. Tahun 2013 tepatnya, lahir dengan bobot normal, anak ketiga dari empat bersaudara. Bukan anak yang paling lucu, tapi yang paling lincah. Mungkin itu sebab utama dia lah yang paling bisa bertahan untuk hidup dibandingkan tiga saudara lainnya. Kakak pertamanya, harus mengecap dinginnya ditimbun tanah setelah berjuang melawan sakit selama dua bulan. Kakak keduanya, hilang tak berbekas di antara gelap malam. Karena sorenya, saya masih bisa melihat dia bercanda dengan kakaknya tersebut. Lebih malang nasib adiknya, melawan sakit sekian bulan, akhirnya dia menyerah takluk. Meninggalkan Sang Raja (hari ini saya memanggilnya begitu) dengan muka penuh kesakitan. Saya ingin menangis, tapi seorang hamba sahaya tidak boleh menangis di hadapan Sang Raja. 

Lebih miris adalah saat Sang Raja ditinggalkan Sang Ibunda Ratu, entah kemana, masih menjadi misteri dunia lain. Detektif yang saya sewa tidak mampu menemukannya sampai saat ini. Entah Raja istana mana yang mampu membutakan matanya yang indah untuk meninggalkan istana.

Sang Raja tumbuh dengan sangat sehat, memiliki tatapan tajam dan bentuk tubuh yang sempurna di antara mahluk sebangsanya. Tatapan matanya, bisa menaklukkan lawan jenisnya dalam sekian menit. Tapi sayang, Sang Raja hidup di lingkungan tidak ideal. Hanya janda-janda yang sibuk mengurus anak-anaknya yang tersisa. Jadilah Sang Raja seorang pria yang kesepian, menatap nanar para janda setiap harinya. Sembari berharap akan ada kembang desa yang tersasar ke istananya.
Saya, hamba sahayanya yang taat. Tidak pernah telat menyiapkan makanannya, pagi, siang, sore, bahkan di tengah malam. Kapanpun dia ingin makan.

Sang Raja punya banyak singgasana, tidak ada seorang pun hamba sahaya di istana berani mengganggu dia saat sedang beristirahat. Sekali dia menatap singgasananya, maka para hamba sahaya akan segera mempersilahkan Sang Raja untuk mendiaminya selama yang dia inginkan.

Sang Raja dari hari ke hari semakin tumbuh dengan sehatnya, dia tidak mau lagi makanan dalam negeri. Harus impor, ujarnya dengan bahasa isyarat. Maka, jadilah saya sebagai hamba sahaya yang taat, harus lebih bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi nafsu makannya yang semakin menggila.

Sang Raja, harapan saya tidak muluk-muluk, Ja. Semoga dikau segera menemukan jodoh yang sepadan, setia dan soleh. Sehingga saya bisa fokus ke kehidupan fana lagi. Meladeni kemauan dikau sungguh bikin sakit kepala.


"Meoooooong" 

Baiklah, Sang Raja mulai lapar (lagi).

2 komentar: