1981
“Mbok, aku njaluk ijin merantau, nggih?”, aku
memberanikan diri berbicara ke Mbok pada satu pagi.
“Arep mangendi koe, le?”, dengan muka sendu
Mbok bertanya.
“Sumantra, Mbok. Mas Wardi ngejak aku melok
de’e. Lagian aku arep ngerasakke urip mandiri, nek njaluk kuliah aku ra gelem
nambah beban Mbok’e”, sahutku.
“Tulung sisan ngomong karo Pa’e yo Mbok? Aku ra
wani, eee”, pintaku.
“Yo wis, nek tekadmu wis bulat. Jaga diri, yo”,
akhirnya Mbok memberikan jawaban. ”Masalah Pakmu, ngko ben Mbok sing ngomong.
Koe siapke keperluanmu ae”
--------
1982
“No, cuci mangkoknya. Kita mau ngider lagi”,
Mas Wardi sedikit berteriak.
“Nggih, Mas”, aku menyahut.
Kehidupan di Sumatera ternyata di luar
bayanganku, mencari pekerjaan yang mapan ternyata tidak segampang yang aku
bayangkan. Berbagai pekerjaan kasar harus aku jabani, mulai dari buruh
bangunan, tukang ojek sampai akhirnya membantu Mas Wardi berjualan bakso
keliling.
“Gimana hasil test mu kemarin, No?”, Mas
Wardi mengajukan pertanyaan saat kami beranjak pulang. Jualan kami lumayan
laris hari ini, hanya menyisakan beberapa butir daging bakso.
“Masih menunggu pengumuman, Mas”, sahutku.
“Oh, sing sabar yo”
“Nggih, Mas”
--------
1983
Nasib baik ternyata berpihak kepada mereka
yang mau berusaha dan berikhtiar. Bermodalkan ijazah SMA, setelah melalui tes
yang lumayan ketat. Aku akhirnya diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di UPT
Perdagangan Kabupaten Sarolangun Bangko. Walaupun dengan gaji seadanya, aku
yakin semuanya akan menjadi jauh lebih baik.
Mbok dan Pa’e senang bukan main saat aku
mengabarkan melalui surat. Mereka berpesan, selalu pegang prinsip kejujuran dan
etos kerja tanpa pamrih. Aku mengiyakan, di sudut kamar kontrakan. Aku bertekad
untuk bekerja sebaik mungkin.
--------
Januari 1986
“No, salam dari Ramailis” kata Kak Unaizah
“Ah, yang bener, Kak?” Aku masih tidak
percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Walaupun dalam hati aku berteriak
kegirangan.
“Iya, tadi di Sekolah dia bilang begitu”
Perkenalkan namanya Ramailis, wanita yang aku
jumpai pertama kali saat sama-sama menjadi peserta di acara Diklat P4. Putri
Minang tulen nan cantik. Tanpa pikir panjang, aku langsung meletakkan masa
depanku adalah dia. Mungkin inilah yang dinamakan Cinta.
Akhirnya dia merespon balik salam yang aku
titipkan melalui Kak Unaizah. Maklum, saat itu belum ada teknologi HP,
boro-boro HP - listrik saja belum merata di seluruh Kota.
Ah cinta, aku bahagia.
--------
Februari 1986
Aku tergolek tak berdaya, virus malaria telah
merampas seluruh tenaga yang aku punya. Jadi, di sinilah aku. Seorang diri
menghadapi penyakit, jauh dari keluarga. Hanya teman dekat yang setia menemani.
“No, Ramailis datang”, Bisik Wakija.
Perlahan aku membuka mata, seolah tidak
percaya. Pujaan hatiku datang dengan Kak Unaizah.
Mungkin, kalau waktu itu sudah ada teknologi
perekam video. Kalian akan bisa melihat betapa senyumku mengembang dengan
lebar. Seluruh energi seolah berkumpul kembali
Ternyata, selain dokter. Kekuatan cinta bisa
mengobati berbagai macam penyakit. Hehehe
--------
Maret 1986
Akhirnya aku resmi berpacaran dengan sang
pujaan hati. Taman bunga seolah memenuhi kota ini. Pikiran untuk kembali ke
Jawa seolah pudar. Kekuatan cinta no. 34, bisa menghilangkan kerinduan akan kampung
halaman.
Semuanya berjalan sesuai dengan harapanku.
Kami saling berusaha mengenali diri pasangan secara terbuka, aku bercerita
semua tentang diriku, begitupun dengan dirinya.
Cinta memang indah bukan.
--------
Mei 1986
“Yank, aku mau mengajukan pertanyaan”,
ujarku.
“Apa, Mas?”
Saat itu menjelang senja. Aku duduk di teras
rumah dinas guru yang dia tempati.
“Aku ingin melamarmu, Aku ingin menjadikan
kamu sebagai Istriku”
Dia menatapku dengan bola mata membesar. Mata
yang di mataku menjadi semakin penuh pesona.
“Apakah tidak terlalu cepat, Mas? Kita baru
berpacaran beberapa bulan”, suara itu mengalir dari mulutnya.
“Tidak ada kata terlalu cepat dalam cinta,
Yank. Yang ada adalah seberapa besar keyakinan kita akan cinta dan komitmen
untuk menjalaninya” Tukasku mantap.
Dia diam.
Aku diam.
Aku biarkan dia bergumul dengan pikirannya,
karena aku tidak mau menunda lagi. Usiaku sudah 26 tahun, dia 22 tahun. Usia yang
sudah sewajarnya untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Berpacaran
terlalu lama juga tak baik menurutku, terlalu banyak godaan yang menunggu.
--------
Juni 1986
“Saya terima nikahnya Ramailis binti Matalis,
dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan dua mayam emas dibayar
tunai”, setengah berteriak aku melafazkan kata-kata yang sudah aku coba hafalkan
selama tiga hari.
“Bagaimana saksi? SAH?”, Tanya Penghulu.
“Saaah!”, dengan kompak saksi dari pihakku
dan dia bersuara.
“Alhamdulillahirrabbil Allamin, dengan ini
kalian sah sebagai suami istri” lanjut Penghulu.
Aku bersyukur luar biasa dalam hati. Allah
Maha Penyayang.
Dia menitikkan air mata haru.
Dengan khidmat dia mencium punggung tanganku,
setengah berbisik dia berucap “Mas, jadilah imam yang baik bagi aku dan
anak-anak kita kelak.
“Mas janji, dek” aku berbicara dan mematri dalam
hati ucapan saat itu.
Selamat datang cinta yang dihalalkan oleh
Allah SWT.
------
Selamat Ulang Tahun, Yah.
Engkau yang selalu aku hormati dan berjuang
tanpa lelah menghidupi keluargamu.
Engkau yang selalu awet muda karena berhati
riang dan tak henti-hentinya mencintai ibu tanpa banyak alasan.
Semoga selalu sehat dan berbahagia tanpa
jeda.
Bangko, 3.25 PM.
kisah nyata soal cinta emang ga ada habisnya.
BalasHapusjangan bosen aku ingetin soal tanda baca, ya, Jem.. :)
eh iya, ceritamu makin beragam. tata bahasa juga makin bagus, dibanding sebelumnya.
BalasHapussemangat!!!
Wow, jadi kisah cinta ini diangkat dari kisah nyata. Bacanya mengalir sampai ke hati. Eh, selamat ulang tahun untuk Ayah-mu. Btw, itu nama tokoh cewenya nyata apa bukan? Bagus yah cantik Ramailis.
BalasHapusBetewe lagi .... Tante Vanda rajin sekali yah mengingatkan soal tanda baca. Tante, ingetin aku juga dong! Ingetin aku!
BalasHapusVanda : Iya, aku punya kelemahan dalam bersabar. Kurang banget kadarnya. heuheueheue. Aku gak akan bosan mendengarkan kritik kamu kok. :'))
BalasHapusEva : Terima kasih, Va. Iya, Ramailis itu nama ibuku. Cantik, sayang kecantikannya gak menurun ke aku. #lahh
Ini untuk ulang tahun ayahmu atau ulang tahun pernikahan ayah-ibumu?
BalasHapusTulisan yang keren.
Ayahmu bacakah?
Salam buat orang tuamu.
BalasHapus*ini ditulis biar pas komennya dua-dua.. hehehe..
btw jugaaa,
"Ramailis itu nama ibuku. Cantik, sayang kecantikannya gak menurun ke aku. #lahh"
kamu mau jadi cantik, ha?
Untuk ulang tahun ayah aku, Ka. :')
BalasHapusmakasih ya, Ka. Sudah mampir. :'D
Huahahaha, itu becandaan doank. Aku mah dapet gantengnya bapak. hahahaha